Tidak
bisa kupungkiri malam tetap hadir. Suara jangkrik mulai menggema di telinga.
Mereka berteriak satu sama lain. Saling memberitahu bahwa malam telah tiba.
Ayam yang sedari tadi beradu paruh satu sama lain mulai tak tampak. Mereka
telah masuk dalam kediaman mereka. Akhir yang kutahu ayam-ayam itu akur pada
malam hari. Tak terdengar olehku kokokan membunuhnya—seperti yang kudengar sebelum malam tiba. Anehnya, burung
masih berkicau meriah. Bukan pagi, tapi sekarang malam. Burung-burung itu
berkicau riang dan sangat menggangguku. Bukan kicauan yang bersahabat. Lebih
seperti kicauan hendak berburu milik burung hantu. Menakutkan—lebih tepatnya aku takut.
Tidak
seperti biasa. malam ini sungguh mencekam bagiku. Diriku hilang entah kemana.
Sosok manusia yang sangat kukenal—bahkan lebih dari
siapapun—kini lenyap. Aku heran
dan tak henti-hentinya kutanyakan pada hati ini. Segumpal darah yang membeku
dalam rongga dada ini tak menjawabku. Dia kokoh dan membuatku semakin
menjauhinya.
Aku
heran—lebih tepatnya aku takut. Diri ini
berubah lebih buruk. Manusia yang entah apakah masih bernafas ini menjadi orang
yang tak kukenal. Berusaha kuterawan hatinya dan mataku tak dapat melihatnya.
Tanganku sulit untuk menggapainya. Dia jauh dan kubiarkan dia menjauh.
Aku
takut hidup dalam tubuh ini. Tubuh yang berlagak kuat, tak tahu betapa rentah
ia. Aku takut malam ini tetap hadir dan aku tertidur. Lalu saat aku bangun
esok, diri ini berubah. Diri ini berubah dan dengan congkaknya mengatakan
akulah pemilik jiwa ini. Pada akhirnya, kesempatan itu lari menjauhiku. Tepatnya
aku relakan ia pergi.
Apa
yang salah pada diri ini? Mengapa ia berbeda, hingga sulit kumemastikan diriku
masih ada disini. Kemana memori itu pergi? Mengapa kutak bisa mengingat apapun,
hingga kupikir aku berubah. Bahkan jika kumaksakan diriku menjerit. Kucoba
untuk memasuki lorong pikiranku. Kusadar—kutak bisa menemukannya.
Semenjak
dia marah dengan dirinya. Melonjak terbirit-birit lalu bergumam ia benci
dirinya. Lalu, dia benar-benar meninggalkan—hati yang katanya membencinya.
Semakin
parah saat orang yang dipanggilnya kakak meninggalkannya. Terlebih ketika orang
yang dipanggilnya ibu membohonginya. Dia tidak memercayai dirinya. Bahkan
secuil rasa yang mengangah dalam renungan jiwa. Hilang—lenyap seperti air mata yang menenggelamkan mata. Airmata
yang menyanyikan rerintikkan nina bobo menidurkan jiwa. Berharap tak bangun
esok, hanya agar diri ini tak lenyap oleh bahtara belunggu hasrat.
Dia
hanya ingin kebohongan jiwanya tertutup oleh uluran hati. Memukulnya hingga dia
tak punya kekuatan untuk jadi orang lain yang tak dia kenal. Tapi uluran itu
tak pernah datang. Hanya tamparan dahsyat yang semakin membuat menjadi-jadi.
Dia tetap berubah. Lalu kuingin dia lenyap hingga dia tak punya alasan untuk
jadi berbeda.
“Kumohon
bisakah kamu menyelamatkan jiwa terpenjara ini? Kakak, kembalilah! Ibu,
mengertilah! Kalau jiwa yang kau kira baja ini, sekedar kain yang telah kau
porak-porandakan. Kuingin berhenti menyalahkanmu. Kuingin berhenti menyalahkan
diriku.”-tulipungu..
(Tulipungu/19.46/15-03-2015)