Sunday 15 March 2015

Belenggu Hasrat



Tidak bisa kupungkiri malam tetap hadir. Suara jangkrik mulai menggema di telinga. Mereka berteriak satu sama lain. Saling memberitahu bahwa malam telah tiba. Ayam yang sedari tadi beradu paruh satu sama lain mulai tak tampak. Mereka telah masuk dalam kediaman mereka. Akhir yang kutahu ayam-ayam itu akur pada malam hari. Tak terdengar olehku kokokan membunuhnyaseperti yang kudengar sebelum malam tiba. Anehnya, burung masih berkicau meriah. Bukan pagi, tapi sekarang malam. Burung-burung itu berkicau riang dan sangat menggangguku. Bukan kicauan yang bersahabat. Lebih seperti kicauan hendak berburu milik burung hantu. Menakutkanlebih tepatnya aku takut.


Tidak seperti biasa. malam ini sungguh mencekam bagiku. Diriku hilang entah kemana. Sosok manusia yang sangat kukenalbahkan lebih dari siapapunkini lenyap. Aku heran dan tak henti-hentinya kutanyakan pada hati ini. Segumpal darah yang membeku dalam rongga dada ini tak menjawabku. Dia kokoh dan membuatku semakin menjauhinya.

Aku heranlebih tepatnya aku takut. Diri ini berubah lebih buruk. Manusia yang entah apakah masih bernafas ini menjadi orang yang tak kukenal. Berusaha kuterawan hatinya dan mataku tak dapat melihatnya. Tanganku sulit untuk menggapainya. Dia jauh dan kubiarkan dia menjauh.

Aku takut hidup dalam tubuh ini. Tubuh yang berlagak kuat, tak tahu betapa rentah ia. Aku takut malam ini tetap hadir dan aku tertidur. Lalu saat aku bangun esok, diri ini berubah. Diri ini berubah dan dengan congkaknya mengatakan akulah pemilik jiwa ini. Pada akhirnya, kesempatan itu lari menjauhiku. Tepatnya aku relakan ia pergi.

Apa yang salah pada diri ini? Mengapa ia berbeda, hingga sulit kumemastikan diriku masih ada disini. Kemana memori itu pergi? Mengapa kutak bisa mengingat apapun, hingga kupikir aku berubah. Bahkan jika kumaksakan diriku menjerit. Kucoba untuk memasuki lorong pikiranku. Kusadarkutak bisa menemukannya.

Semenjak dia marah dengan dirinya. Melonjak terbirit-birit lalu bergumam ia benci dirinya. Lalu, dia benar-benar meninggalkanhati yang katanya membencinya.

Semakin parah saat orang yang dipanggilnya kakak meninggalkannya. Terlebih ketika orang yang dipanggilnya ibu membohonginya. Dia tidak memercayai dirinya. Bahkan secuil rasa yang mengangah dalam renungan jiwa. Hilanglenyap seperti air mata yang menenggelamkan mata. Airmata yang menyanyikan rerintikkan nina bobo menidurkan jiwa. Berharap tak bangun esok, hanya agar diri ini tak lenyap oleh bahtara belunggu hasrat.

Dia hanya ingin kebohongan jiwanya tertutup oleh uluran hati. Memukulnya hingga dia tak punya kekuatan untuk jadi orang lain yang tak dia kenal. Tapi uluran itu tak pernah datang. Hanya tamparan dahsyat yang semakin membuat menjadi-jadi. Dia tetap berubah. Lalu kuingin dia lenyap hingga dia tak punya alasan untuk jadi berbeda.

“Kumohon bisakah kamu menyelamatkan jiwa terpenjara ini? Kakak, kembalilah! Ibu, mengertilah! Kalau jiwa yang kau kira baja ini, sekedar kain yang telah kau porak-porandakan. Kuingin berhenti menyalahkanmu. Kuingin berhenti menyalahkan diriku.”-tulipungu..

(Tulipungu/19.46/15-03-2015)

PENGAKUAN



"Itulah senyuman se-hangat mentari dan mata se-dingin es."-

Meski diri ini takut. Diri ini tak mampu bertindak sesuai kemauannya. Diri ini bahkan tak bisa memegang senjata. Dia bertingkah egois ingin menjadi teman dia.

“Terima aku menjadi temanmu. Kumohon!"-