Hujan mengisi sunyi malam. Aroma tanah dan rumput, juga
hujan tercium hingga ke tenggorakan. Menyebabkan orangnya tersedak udara dan
sadar waktunya tidur. Hanyut dalam melodi rintikan. Juga nanyian ninabobo paling
mansyur seantero bola raksasa, yang ditempati puluhan makhluk berwajah. Itulah
dunia, bumi, planet biru, alam semesta, atau bak sampah, panggilan akrabku.
Lelap sudah mata. Mengatuplah kelopaknya, menyembunyikan
kornea si penipu di dalamnya. Pikiran sempat berlarian berpacu dengan hati,
juga raga. Dengan congkaknya, berkata, akulah penguasa dalam hidup yang tidak
lagi sadar.
Senyap sejenak, hingga peristiwa muncul bak layar tancap
istimewa dengan kualitas rendah. Kadang semut menggerumuti. Mungkin dia meminta
gula. Apakah gula ada disana? Tidak ada. Garampun belum ditemukan di masa ini.
Harus ke laut jika ingin makan sayur asin. Harus menimbah air laut, yang
berarti menyatakan perang dengan ombak. Harus menebang pohon-pohon serupa
bamboo lalu memeras airnya untuk mendapat air semanis gula. Dunia masih begitu
polosnya, di bawah naungan orang-orang yang kejam.
Orang dengan kayu gelondong berjejer di atas punggungnya,
bukan hal baru, bukan hal yang bisa ditolak, juga bukan hal yang menuntut iba.
Mereka ingin hidup, tidak ada pilihan.
Para perempuan digiring bagai itik menjadi tontonan
istimewa. Mereka tidak mempertimbangkan umur. Mereka ingin hidup, tidak ada
pilihan. Menolak, berarti jangan harap kamu bisa mengelus kepalamu lagi. Jangan
pikir, kamu bisa mengurai rambutmu lagi, menyucinya, atau sekedar menyayatnya
mencari kutu. Karena itulah sumbangan pengganti batu-bata pembangunan jembatan
kota.
Para lelaki berjalan memungut sesal dan kesalnya di
tengah tambang. Masih tidak memikirkan umur. Torehan maaf pada ibu, istri, juga
anak perempuannya hanya menggumpal, seperti tumpukan batu yang harus dipecahkan
menjadi kerikil. Meski hasil akhir yang terbentuk lebih tajam juga runcing.
Kaki dirantai bagai musang yang ditinggalkan di kadang ayam. Gumpalan darah
yang mungkin telah meleleh itu berucap, “Kami bukanlah predator yang akan
memakanmu. Kami juga sama denganmu.” Lalu berakhirkah semua? Tidak. Mereka
ingin hidup, tidak ada pilihan. Itulah harga bagi ketidakmampuan.
Perang di gelar seperti barang dagangan. Bunyi mercon,
juga peluit didengar layaknya sebuah lagu. Rintihan dan tangisan menjadi
liriknya. Pistol canggih melawan bambu runcing, terdengar sebagai lelucon. Si
pengecut maju melawan si congkak. Babu menyelip di antara para majikan, dan
membunuh. Tidak ada ampun yang terselip di dalam kata mampus. Dendam tumpah,
demi orang tercinta. Juga untuk kampung halaman sebagai saksi bisu sebuah
penderitaan.
Diri bimbang untuk menemukan manusia di pertempuran para
predator. Tak ubahnya segerombolan omnivora. Raga tak bernyawa yang tegelatak
jadi sasaran melatih ketepatan. Tidak akan pernah berakhir. Semua tawa telah
direbut dan dihabiskan. Tidak ada sisa bagi sosok yang tertinggal. Dunia yang
tak lagi polos ini menjadi bak sampah para pendahulu.
Itulah hubungan antara sejarah, sekarang dan selanjutnya.
Sayangnya, semua orang tidak ingin menerimanya. Mereka menipu diri sendiri, dan
mengubah dunia menjadi ion-ion yang dianggap modern. Tidak sadar yang
dilakukannya hanyalah melukai dunia. Ingatlah, duniapun punya batas. Mereka
menutup telinga juga mata. Bahkan hati. Melupakan apa yang diperjuangkan orang
terdahulu. Lalu, ini akan tetap berlanjut. Mengapa? Karena filmnya belum
selesai. Diri ini belum bangun dari lelapnya.
MEREKA INGIN
HIDUP, TIDAK ADA PILIHAN.
(tulipungu/23.00/21/01/2015)
No comments:
Post a Comment