Wednesday 21 January 2015

MEREKA INGIN HIDUP, TIDAK ADA PILIHAN




Hujan mengisi sunyi malam. Aroma tanah dan rumput, juga hujan tercium hingga ke tenggorakan. Menyebabkan orangnya tersedak udara dan sadar waktunya tidur. Hanyut dalam melodi rintikan. Juga nanyian ninabobo paling mansyur seantero bola raksasa, yang ditempati puluhan makhluk berwajah. Itulah dunia, bumi, planet biru, alam semesta, atau bak sampah, panggilan akrabku.

Lelap sudah mata. Mengatuplah kelopaknya, menyembunyikan kornea si penipu di dalamnya. Pikiran sempat berlarian berpacu dengan hati, juga raga. Dengan congkaknya, berkata, akulah penguasa dalam hidup yang tidak lagi sadar.

Senyap sejenak, hingga peristiwa muncul bak layar tancap istimewa dengan kualitas rendah. Kadang semut menggerumuti. Mungkin dia meminta gula. Apakah gula ada disana? Tidak ada. Garampun belum ditemukan di masa ini. Harus ke laut jika ingin makan sayur asin. Harus menimbah air laut, yang berarti menyatakan perang dengan ombak. Harus menebang pohon-pohon serupa bamboo lalu memeras airnya untuk mendapat air semanis gula. Dunia masih begitu polosnya, di bawah naungan orang-orang yang kejam.

Orang dengan kayu gelondong berjejer di atas punggungnya, bukan hal baru, bukan hal yang bisa ditolak, juga bukan hal yang menuntut iba. Mereka ingin hidup, tidak ada pilihan.

Para perempuan digiring bagai itik menjadi tontonan istimewa. Mereka tidak mempertimbangkan umur. Mereka ingin hidup, tidak ada pilihan. Menolak, berarti jangan harap kamu bisa mengelus kepalamu lagi. Jangan pikir, kamu bisa mengurai rambutmu lagi, menyucinya, atau sekedar menyayatnya mencari kutu. Karena itulah sumbangan pengganti batu-bata pembangunan jembatan kota.

Para lelaki berjalan memungut sesal dan kesalnya di tengah tambang. Masih tidak memikirkan umur. Torehan maaf pada ibu, istri, juga anak perempuannya hanya menggumpal, seperti tumpukan batu yang harus dipecahkan menjadi kerikil. Meski hasil akhir yang terbentuk lebih tajam juga runcing. Kaki dirantai bagai musang yang ditinggalkan di kadang ayam. Gumpalan darah yang mungkin telah meleleh itu berucap, “Kami bukanlah predator yang akan memakanmu. Kami juga sama denganmu.” Lalu berakhirkah semua? Tidak. Mereka ingin hidup, tidak ada pilihan. Itulah harga bagi ketidakmampuan.

Perang di gelar seperti barang dagangan. Bunyi mercon, juga peluit didengar layaknya sebuah lagu. Rintihan dan tangisan menjadi liriknya. Pistol canggih melawan bambu runcing, terdengar sebagai lelucon. Si pengecut maju melawan si congkak. Babu menyelip di antara para majikan, dan membunuh. Tidak ada ampun yang terselip di dalam kata mampus. Dendam tumpah, demi orang tercinta. Juga untuk kampung halaman sebagai saksi bisu sebuah penderitaan.

Diri bimbang untuk menemukan manusia di pertempuran para predator. Tak ubahnya segerombolan omnivora. Raga tak bernyawa yang tegelatak jadi sasaran melatih ketepatan. Tidak akan pernah berakhir. Semua tawa telah direbut dan dihabiskan. Tidak ada sisa bagi sosok yang tertinggal. Dunia yang tak lagi polos ini menjadi bak sampah para pendahulu.

Itulah hubungan antara sejarah, sekarang dan selanjutnya. Sayangnya, semua orang tidak ingin menerimanya. Mereka menipu diri sendiri, dan mengubah dunia menjadi ion-ion yang dianggap modern. Tidak sadar yang dilakukannya hanyalah melukai dunia. Ingatlah, duniapun punya batas. Mereka menutup telinga juga mata. Bahkan hati. Melupakan apa yang diperjuangkan orang terdahulu. Lalu, ini akan tetap berlanjut. Mengapa? Karena filmnya belum selesai. Diri ini belum bangun dari lelapnya.

MEREKA INGIN HIDUP, TIDAK ADA PILIHAN.

(tulipungu/23.00/21/01/2015)

No comments:

Post a Comment