“Kami sekedar manusia. Hanya saja terkadang kami ingin lebih.”-Elsa.
***
Matahari siap siaga menerkam mangsa. Panasnya berhasil membuat
orang-orang itu menggeliat sembari bergumam ‘Uhh’. Beberapa dari mereka
sibuk menggaruk-garuk kutu yang dengan girang menyedot minuman
favoritnya. Mereka tampak gerah—juga kesal—dengan rambut diurai.
‘Astagfirullah’, batinku berucap menyaksikan hiruk-pikuk di depan
mata. Wanita berlalu-lalang dengan dress mini. Rambut yang mereka urai
tampak mengembang bak roti dalam oven. Sepatu highless tak lepas dari
kaki mulus mereka, bahkan setelah sepatu itu melukainya. Ironi memang.
Lafas Allah yang tergantung di leher mereka, kuharap itu bukan sekedar
hiasan. Karena hanya satu hal itu yang membuatku menyukai mereka.
‘Salahkah diri ini?’, sergah jiwaku. Dia memberontak berusaha ingin
tahu jawaban dari hatiku. Kusadar diriku tidak berhenti menyalahkan
mereka yang membantah perintah Allah, Tuhanku. Hingga diriku mungkin
tiba di titik, dimana aku mulai congkak. Aku mulai menganggap diriku
benar karena patuh saat ini. Kulupa untuk tetap bertasbih kepada-Nya.
Kuhanya banggakan diriku—padahal diri ini hanyalah titipan dari-Nya.
Salah satu kelemahanku adalah menilai diriku. Hanya lafas,
‘Astagfirullah’ yang menyejukkan hatiku.
Aku bukanlah mereka. Akupun tidak seperti mereka. Jilbab terpasang
dengan baik menyejukkan kepala—juga menyembunyikan rambutku. Jilbab tak
bermodel khas anak sekolah berlabel ‘Rabbani’ itu favoriteku. Bukan
labelnya, melainkan bendanya. Bagiku jilbab—yang saat ini melindungiku
dari terik sang pemangsa—adalah cinta pertamaku. Tepatnya, aku
mencintainya sebelum kukenal Allah, Tuhanku. Aku jatuh cinta padanya,
lalu setelah itu kukenal Allah—dan mengangkat-Nya menjadi cinta
pertamaku.
***
“Haruskah kupake jilbab itu, bu?”, gumam balita bertitle Elsa.
“Sekarang kau belum harus memakainya. Tapi kau bisa belajar sekarang.”, jawab ibu sedikit tak acuh.
“Untuk apa?”, rasa penasaran itu memorak-porandakan pikiran Elsa.
“Jilbab ini terus saja merusak model rambutku. Ini juga bikin gerah.”,
gerutunya.
“Kakak-kakakmu juga menggunakannya.”, balas ibu.
“Jadi, elsa harus pake karena kakak-kakak juga pake?”, Elsa mulai kesal.
“Bukan Elsa.”, Sanggah Karin, mendekat dengan kursi rodanya. Wajah
Elsa membulat yang artinya dia bingung. “Kau tahu kakak ini tidak punya
apa-apakan?”, tanya Karin.
“Kakak masih punya hidup.”, celoteh Elsa sedikit kesal.
“Sebentar lagi kakak akan kehilangannya.”, Karin tertawa, ia
membuka kerudungnya. “Tidak sepertimu, kakak bahkan tidak punya
rambut.”, Elsa tertegun menelan ludah menyaksikan botak pelontos milik
kakak perempuannya.
“Kenapa kakak pake jilbab? Bagi kakak jilbab ini mahkota kakak.
Dialah mahkota yang yang menutupi kekurangan kakak. Tidak semua orang
bisa menggunakannya, Elsa. Lihat, apakah kau pernah melihat laki-laki
menggunakannya?”, Elsa mengangguk. Dia mencermati setiap kata yang
keluar dari mulut Karin—dengan seksama.
“Jilbab ini adalah mahkota yang hanya diciptakan untuk wanita—untuk
perempuan.”, lanjut Karin, dengan senyuma tiga jarinya. “Dan dengan ini
kakak mewariskan mahkota terbaik dari Sang Maha Kuasa kepada adik kakak
tersayang, Elsa.”, akhir dia pasangkan kerudung itu menutupi kepala
Elsa. Elsa menerimanya sembari tersenyum. Cinta pertamanya dimulai.
***
Siang itu, kuhabiskan duduk di bangku kuliahku. Jurusan kedokteran
semester tiga. Kupilih jurusan ini, karena kuberniat menjadi dokter
spesialis anak. Awal baik, aku diterima disini sebagai siswi termuda.
Masih bukan akhir. Bukan hanya diriku yang muslim disini. Hanya saja,
hanya aku yang berhijab.
“Happy birthday, Elsa.”, bisik Stefano yang duduk di bangku
belakangku. Aku tak acuh, tak pernah sekalipun mataku meleset dari dua
tempat itu. Papan tulis dan buku tulisku. Sebelum Stefano mengacaukanku
untuk kedua kalinya.
“Ada yang memanggilmu dari lapangan. Tengoklah!”, aku berbalik.
Terpampang di bawahku. Tepatnya terukir di atas lapangan ucapan selamat
ulang tahun untukku. Aku sedikit kesal.
‘Berhentilah membuat lelucon aneh! Aku tidak suka.’, tulisku pada selembar kertas dan memberikannya pada Stefano.
“Aku lakukan untukmu.”, suaranya sedikit memelas.
‘Terima kasih. Tapi jangan lakukan lagi!’, balasku pada selembar
kertas. Stefano mematung, lalu pandangan kami kembali ke papan tulis.
Sesaaat sebelum dia bergumam mengagetkanku, ‘Aku sebenarnya ingin tahu
seperti apa duniamu?’.
Kalimat yang mencuri perhatianku.
***
Fajar tetap hadir hari itu. Suara adzan menggema mengantarnya hingga
mentari juga masih hadir hari itu. Aku bersyukur. Paling tidak hari itu
aku masih bisa bernafas. Hari itu, aku masih merasakan detak jantung
dalam rongga dadaku—yang artinya aku masih hidup. Allah masih
menginjinkanku untuk hidup dalam belenggu tubuh yang tak berdaya menanti
ajal.
Jumat pagi di awal agustus, tidak ada yang berbeda. Diri ini masih
bangun dari tumpukan ranjang bertingkat. Suara anak kecil berlarian
memecah pagi. Suara ibu panti menggema lebih keras dari adzan
membangunkanku. Suara riuh ratusan anak mengantri di depan tiga toilet
berukuran kecil. Kesemuanya tak lepas dari dunia pagiku. Aku tak
mengelak. Aku juga tak membencinya hingga kuharus mengutuknya. Aku
menerimanya sebagai takdir yang harus kuubah dengan menjadi sukses.
“Elsa, bantu ibu bangunkan adikmu!”, perintah itu melantung setelah
ibu sadar aku telah bangun. Dengan gesit, kaki ini melangkah dari satu
kamar ke kamar yang lain. Bibir ini berceloteh keras dan lebih keras
hingga adik-adikku—yang jumlah hampir lima puluh orang—beranjak keluar,
wuduh lalu shalat. Aktivitas pagi yang rutin.
***
“Aku berangkat.”, teriakku. Kuambil ransel biruku dan beranjak
keluar dari pondok yang mulai sesak akan jiwa. Pengajian rutin setiap
pagi akan segera dimulai. “Assalamu alaikum.”, lanjutku.
“Waalaikum mussalam.”, serempak semuanya membalasku.
“Tunggu dulu.”, cega ibu panti. Bulir keringatnya berjatuhan.
Kumengerti betapa sibuknya ia, tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku
menghentikan langkahku. Mimikku seperti menjawab, ‘ada apa?’.
“Kamu lupa hari apa ini?”, mimik ibu panti menjadi serius. Tangannya ia simpan di atas pundakku. Aku mencoba mengingat.
“Tidak ada yang special hari ini, ibu. Hari ini juga akan jadi hari
sibuk untukku menyelesaikan skripsiku.”, balasku dan ibu panti
mengangkat alis.
“Astagfirullah. Tujuh belas tahun yang lalu, tepat di hari yang
sama dengan hari ini, ibu menemukanmu di depan panti. Sekarang kamu
ingat?”, jelasnya. Aku mengerti. “Hari ini kamu menjadi remaja berusia
tujuh belas tahun.”, lanjutnya.
“Ya. Aku baru ingat. Maaf!”, aku tersenyum.
“Ibu tidak bisa memberimu apa-apa seperti remaja lain. Tapi ibu
hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Apakah kamu menerima hadiah
doa dari ibu?”, ibu panti tersenyum. Wajahnya dipenuhi harap, juga belas
kasih. Bagiku, dialah ibu kandungku.
“Apakah aku minta sesuatu dari ibu?”, cibirku. “Aku akan bahagia
dengan doa ibu. Terima kasih telah merawatku selama ini.”, ucapku
memeluknya.
“Lihatlah modelmu. Apa kamu tidak tahu yang namanya stylist?”,
tutur ibu panti. “Kamu tampak cantik dengan model-model jilbab yang lagi
nge-trend itu.”, lanjutnya.
“Lagi pula, Allah tidak melihat seseorang dari model jilbabnya. Ini
lebih mudah.”, balasku sembari memperbaiki jilbabku yang miring setelah
memeluk ibu panti tadi.
“Paling tidak, kamu seharusnya membuat seorang pria menyukaimu.”, gumam ibu panti.
“Allah membenci seseorang yang mendekati zina. Aku hanya akan
membuat suamiku nanti yang menyukaiku.”, aku tertawa. Ibu panti mulai
mencari-cari alasan.
“Bagaimana kamu menemukan suami dengan cara seperti itu?”
“Dengan izin Allah. Ibu, sudahlah. Lagi pula, aku masih berumur tujuh belas. Aku masih mudah.”, tuturku.
“Kamu tahu. Dengan umurmu yang sekarang, kamu tidak akan mungkin
lagi memunyai orang tua. Dulu, seniormu disini menikah di umurmu yang
sekarang. Hanya dengan itu kamu punya keluarga.”, ibu panti menjelaskan.
Aku mengerti.
“Aku tahu, ibu. Tapi aku masih ingin sekolah dan belajar. Aku
pandai di sekolahku dan aku akan membantu ibu menghidupi adik-adik,
serta pernikahan beberapa kakak disini.”, aku berucap. “Aku tidak
meminta ibu membiayai sekolahku yang memang mahal itu. Aku hanya ingin
ibu mengijinkanku tetap disini. Aku mohon.”, ucapku, dan ibu mengangguk,
tampak pasrah dengan pernyataanku.
***
“Elsa, apakah dari tadi kau melamun?”, ucap sebangkuku membuyarkan lamunanku. Dia adalah Tania.
“Hah?”, ucapku kaget.
“Wow, ini langkah. Elsa melamun selama pelajaran. Hebat. Siapakah menjadikanmu seperti ini?”, Tania menyinggung.
“Ah, sudah.”, tanpa kusadar, kelas telah selesai. Kelas kedua datang dua jam selanjutnya—masih lama.
“Karena Stefano?”, godanya. Aku membulatkan mata. “Dia
menyiapkannya dan sebelum dia mengungkap perasaannya, kau menolaknya.
Kau sungguh kejam.”, lanjut Tania.
“Perasaannya?”, aku bodoh—juga telah keliru. Aku pikir.
“Apakah kau tidak tahu, Stefano menyukaimu?”, Tania blak-blakan.
“Aku menyukai semua orang.”, balasku, datar. Aku tidak ingin
tenggelam dalam dunia yang mulai menyatu dengan duniaku. Allah SWT.
tidak akan pernah mengijinkanku menyukai Stefano, aku bergumam. Duniaku
dan dunianya memang berbeda dari awal.
“Sudahlah, Sa. Apa karena perbedaan agama itu lagi? Di dunia ini,
itu udah nge-trend kali. Apa salahnya, cuma pacarankan?”, Tania kembali
berucap memupuk kesal dan tanyaku.
“Aku hidup bukan untuk itu, Tania. Perbedaan agama? Itu bukan
masalah sepele. Aku tidak butuh pacar. Tapi aku butuh imam dalam
keluargaku nanti. Sosok yang bisa jadi ayah untukku atau bahkan sebagai
ibu. Sosok itu akan jadi suamiku nantinya. Dan mana mungkin orang yang
jadi imamku, orang yang bahkan tidak mengenal Allah, Tuhanku.”, aku
membalasnya, Tania tertegun menelan ludah.
“Itulah Elsa. Orang yang bisa membuatku diam.”, Tania tertawa,
mengundangku untuk tertawa juga. “Elsa, Seperti apa Tuhanmu?”, lanjut
Tania.
“Dia sosok pemurah, Maha bijaksana, Maha pengampun, Maha penolong.
Dia mencintai hamba-hamba-Nya. Jadi akupun sangat mencintai-Nya. Itu tak
cukup untuk mewakili ke agungan-Nya.”, gumamku.
“Adakah sosok yang seperti itu? Lalu mengapa Ia membiarkan orangtuamu membuangmu?”, Pikir Tania.
“Aku meyakininya dengan sepenuh hatiku. Dia membiarkan orangtuaku
membuangku, selalu ada alasan dibalik semua itu. Karena Dia ingin
mempertemukanku dengan ibuku sekarang, ibu panti. Karena itu juga,
sekarang kita saling kenal. Dan karena itulah aku tidak terluka di
tengah konflik yang mungkin jadi alasan orangtuaku membuangku.
Hebatkan?”, tuturku.
“Dasar! Kau menang lagi.”, gerutu Tania.
“Elsa!”, teriak seseorang. Itu adalah Stefano. “Untuk bisa jadi
imammu, bisakah kau memberikanku kesempatan?”, lanjutnya, setelah
kumenengok ke arahnya. Kakiku gemetar. Dia tidak membiarkanku
menjawabnya, dia lari keluar kelas setelah mengambil ransel miliknya.
“Dia tidak mau ikut kuliah selanjutnya?”, tanya Tania. Aku masih
pada posisiku. Kupikir hatiku telah direbut. Sakit rasanya, karena itu
adalah dia.
“Prof.Richard punya acara hari ini. Pelajaran di tunda untuk besok.
Kalian tidak mendengarnya?”, keluh Retno yang juga sekelasku.
“Oh. Okay. Thanks and bye.”, balas Tania. “Kau tidak apa-apa, Sa?”, tanyanya kepadaku.
“Entah, hanya saja sakit, disini.”, ucapku sembari memegang dadaku. Aku masih kaget. Aku mencoba mencerna kalimat Stefan.
“Tiba-tiba? Apakah itu jantung? Apakah orangtuamu punya sejarah
penyakit jantung?”, Tania khawatir. Wajahnya tampak cemas berhasil
menyadarkanku.
“Aku mana punya orangtua. Ah, sudah. Ayo pulang!”, gumamku. Tania masih heran.
“Sudah baikan? Padahal aku baru saja mau mengaplikasikan pengetahuanku. Aishh...!”, rengeknya.
***
Tak ada badai hari itu. Tapi hatiku terus bergumam akan ada
badai—sebentar lagi. Lama, setelah aku mematung di buat oleh kalimat
terakhir Stefano yang dilontarkan untukku. Bahkan masih hangat di
telingaku suaranya memantulkan namaku. Kupikir aku hampir saja
tenggelam. Atau mungkin aku telah tenggelam—dan saat ini berusaha
kembali ke atas. Aku bahkan menjadikan hatiku topik di setiap doaku. Aku
memohon untuk di berikan pentunjuk oleh-Nya.
‘Jika dia bukanlah utusan-Mu untuk hidupku, jauhkanlah aku darinya,
Ya Allah! Karena aku tak mampu—bahkan tak mungkin—meninggalkan-Mu untuk
berada di sisinya.’
Selama hampir sepekan, aku dan Stefano tidak pernah lagi dipertemukan dalam satu kelas. Ajaib. Kusadar inilah jawaban-Nya.
Kecuali hari ini. Kami berdua ditunjuk sebagai utusan sekolah untuk
pemeriksaan kesehatan di pantiku. Pemeriksaan kesehatan itu rutin. Tapi
ini pertama kali aku ditunjuk sebagai pelaksananya. Bahkan bersama
Stefano.
‘Apakah sepekan itu waktu untukku mengintrospeksi diri?’, aku bergumam.
“Berangkatnya satu jam lagi.”, Stefano memulai percakapan. Aku
mengangguk—juga menunduk. Tidak berani aku menatap mata abu-abunya. Mata
yang hanya sekali kusaksikan, saat Stefano menadahku dari jejatuhan
buku perpustakaan dari raknya. Pertemuan pertama kami dengan dosa yang
telah kuperbuat. Melihat mata seseorang pria yang bukan mukhrimku.
“Tentang perkataanku sepekan yang lalu, apakah itu memberatkanmu?”, tanya Stefano.
“Ya. Kalimat itu tak pernah mengijinkanku tidur nyenyak.”, balasku.
“Maaf.”, ucap Stefano. Aku menggeleng mengisyaratkan ‘Tidak apa-apa’. Dia masih mencoba menggerakkan mulutnya. Aku was-was.
“Elsa!”, kumemohon untuk tidak mendengar apapun lagi. Entah, hatiku
menggeliat. “Maukah kau melepas jilbabmu untukku?”, batinku terguncang.
Tubuhku bak dibanting sekian kali. Dan saat aku masih mampu berdiri,
kakiku ditendang, lalu diinjak berkali-kali. Aku jatuh, hingga aku tidak
kuat untuk berdiri mencuri kekuatan. Aku tenggelam ke dasar hingga,
sulit bagiku mencuri nafas. Hanya air kemanjaan yang terjatuh dari
pelupuk mataku. Ia jatuh lagi, setelah kupikir ia telah lenyap. Perih.
Aku membisu.
“Aku akan lakukan apapun untukmu. Aku janji.”, lanjut Stefano,
setelah sadar aku menangis. “Kau mungkin berpikir aku bohong, tapi kau
satu-satunya orang yang merebut hatiku. Tapi, aku menyerah, karena tak
sanggup mencuri hatimu.”, kalimat mengalir dari mulut Stefano berhasil
mencincang jiwaku. Aku berusaha tegar dan mulai berucap.
“Kau mau mendengarku sekali lagi? Setelah itu kurela jika kau tidak
mau mendengarku lagi.”, ucapku. Lama, hingga Stefano mengangguk.
“Kau mungkin tak tahu, kalau dalam hatiku kau punya tempat. Di dalam
sana, tempatmu berdampingan dengan jilbabku.”, tuturku dan dia
menyimak. “Allah, Tuhanku, di posisi pertama, Nabi Muhammad SAW., tepat
di urutan kedua. Kemudian jilbabku di posisi ke tiga. Tapi suatu waktu
kau juga memasuki hatiku dan duduk tepat di samping jilbabku. Di posisi
ketiga. Kau ada disana. Lalu, sekarang kau memintaku melepas
jilbabku—yang artinya aku harus membuang cinta ke tigaku. Maka, akupun
harus melepasmu.”, lanjutku. Stefano membisu. Dia mengerti maksudku.
“Stefano! Aku tidak butuh apa pun darimu. Aku bahkan tidak meminta
secuil pun. Aku juga tidak ingin kau melepas segala sesuatu yang kau
miliki untukku. Termasuk mengenal Tuhanku, karena diriku. Jadi, jika
kita berdua hanya mampu seperti ini, biarlah seperti ini.”, tuturku.
“Tidakkah kau harus meminta mahar, jika ternyata kuingin melamarmu?”, tanya Stefano. Aku tersenyum. Kuusap air mataku.
“Jika itu harus, mahar yang kuinginkan adalah ke-ISLAMAN mu. Bukan
karena diriku. Tapi karena kau yakin dan percaya kepada Allah SWT.,
Tuhanku dan Tuhanmu—suatu saat.”, simpulku. Kuberanjak dari tempat itu
dan mengajaknya ke panti. Dia tersenyum dan mengangguk. Kupikir dia
memahami perkataanku.
(Andi Nurfadriani/23:25/26-03-2015)
No comments:
Post a Comment