Wednesday 17 June 2015

Kamu Dan Jilbabku

https://indahnyahidupku.files.wordpress.com/2010/07/35064_1350601209956_1379130279_30898252_5956098_n.jpg“Kami sekedar manusia. Hanya saja terkadang kami ingin lebih.”-Elsa.

***

Matahari siap siaga menerkam mangsa. Panasnya berhasil membuat orang-orang itu menggeliat sembari bergumam ‘Uhh’. Beberapa dari mereka sibuk menggaruk-garuk kutu yang dengan girang menyedot minuman favoritnya. Mereka tampak gerah—juga kesal—dengan rambut diurai.

‘Astagfirullah’, batinku berucap menyaksikan hiruk-pikuk di depan mata. Wanita berlalu-lalang dengan dress mini. Rambut yang mereka urai tampak mengembang bak roti dalam oven. Sepatu highless tak lepas dari kaki mulus mereka, bahkan setelah sepatu itu melukainya. Ironi memang. Lafas Allah yang tergantung di leher mereka, kuharap itu bukan sekedar hiasan. Karena hanya satu hal itu yang membuatku menyukai mereka.

‘Salahkah diri ini?’, sergah jiwaku. Dia memberontak berusaha ingin tahu jawaban dari hatiku. Kusadar diriku tidak berhenti menyalahkan mereka yang membantah perintah Allah, Tuhanku. Hingga diriku mungkin tiba di titik, dimana aku mulai congkak. Aku mulai menganggap diriku benar karena patuh saat ini. Kulupa untuk tetap bertasbih kepada-Nya. Kuhanya banggakan diriku—padahal diri ini hanyalah titipan dari-Nya. Salah satu kelemahanku adalah menilai diriku. Hanya lafas, ‘Astagfirullah’ yang menyejukkan hatiku.

Aku bukanlah mereka. Akupun tidak seperti mereka. Jilbab terpasang dengan baik menyejukkan kepala—juga menyembunyikan rambutku. Jilbab tak bermodel khas anak sekolah berlabel ‘Rabbani’ itu favoriteku. Bukan labelnya, melainkan bendanya. Bagiku jilbab—yang saat ini melindungiku dari terik sang pemangsa—adalah cinta pertamaku. Tepatnya, aku mencintainya sebelum kukenal Allah, Tuhanku. Aku jatuh cinta padanya, lalu setelah itu kukenal Allah—dan mengangkat-Nya menjadi cinta pertamaku.

***

“Haruskah kupake jilbab itu, bu?”, gumam balita bertitle Elsa.

“Sekarang kau belum harus memakainya. Tapi kau bisa belajar sekarang.”, jawab ibu sedikit tak acuh.

“Untuk apa?”, rasa penasaran itu memorak-porandakan pikiran Elsa. “Jilbab ini terus saja merusak model rambutku. Ini juga bikin gerah.”, gerutunya.

“Kakak-kakakmu juga menggunakannya.”, balas ibu.

“Jadi, elsa harus pake karena kakak-kakak juga pake?”, Elsa mulai kesal.

“Bukan Elsa.”, Sanggah Karin, mendekat dengan kursi rodanya. Wajah Elsa membulat yang artinya dia bingung. “Kau tahu kakak ini tidak punya apa-apakan?”, tanya Karin.

“Kakak masih punya hidup.”, celoteh Elsa sedikit kesal.

“Sebentar lagi kakak akan kehilangannya.”, Karin tertawa, ia membuka kerudungnya. “Tidak sepertimu, kakak bahkan tidak punya rambut.”, Elsa tertegun menelan ludah menyaksikan botak pelontos milik kakak perempuannya.

“Kenapa kakak pake jilbab? Bagi kakak jilbab ini mahkota kakak. Dialah mahkota yang yang menutupi kekurangan kakak. Tidak semua orang bisa menggunakannya, Elsa. Lihat, apakah kau pernah melihat laki-laki menggunakannya?”, Elsa mengangguk. Dia mencermati setiap kata yang keluar dari mulut Karin—dengan seksama.

“Jilbab ini adalah mahkota yang hanya diciptakan untuk wanita—untuk perempuan.”, lanjut Karin, dengan senyuma tiga jarinya. “Dan dengan ini kakak mewariskan mahkota terbaik dari Sang Maha Kuasa kepada adik kakak tersayang, Elsa.”, akhir dia pasangkan kerudung itu menutupi kepala Elsa. Elsa menerimanya sembari tersenyum. Cinta pertamanya dimulai.

***

Siang itu, kuhabiskan duduk di bangku kuliahku. Jurusan kedokteran semester tiga. Kupilih jurusan ini, karena kuberniat menjadi dokter spesialis anak. Awal baik, aku diterima disini sebagai siswi termuda. Masih bukan akhir. Bukan hanya diriku yang muslim disini. Hanya saja, hanya aku yang berhijab.

“Happy birthday, Elsa.”, bisik Stefano yang duduk di bangku belakangku. Aku tak acuh, tak pernah sekalipun mataku meleset dari dua tempat itu. Papan tulis dan buku tulisku. Sebelum Stefano mengacaukanku untuk kedua kalinya.

“Ada yang memanggilmu dari lapangan. Tengoklah!”, aku berbalik. Terpampang di bawahku. Tepatnya terukir di atas lapangan ucapan selamat ulang tahun untukku. Aku sedikit kesal.

‘Berhentilah membuat lelucon aneh! Aku tidak suka.’, tulisku pada selembar kertas dan memberikannya pada Stefano.

“Aku lakukan untukmu.”, suaranya sedikit memelas.

‘Terima kasih. Tapi jangan lakukan lagi!’, balasku pada selembar kertas. Stefano mematung, lalu pandangan kami kembali ke papan tulis. Sesaaat sebelum dia bergumam mengagetkanku, ‘Aku sebenarnya ingin tahu seperti apa duniamu?’.

Kalimat yang mencuri perhatianku.

***

Fajar tetap hadir hari itu. Suara adzan menggema mengantarnya hingga mentari juga masih hadir hari itu. Aku bersyukur. Paling tidak hari itu aku masih bisa bernafas. Hari itu, aku masih merasakan detak jantung dalam rongga dadaku—yang artinya aku masih hidup. Allah masih menginjinkanku untuk hidup dalam belenggu tubuh yang tak berdaya menanti ajal.

Jumat pagi di awal agustus, tidak ada yang berbeda. Diri ini masih bangun dari tumpukan ranjang bertingkat. Suara anak kecil berlarian memecah pagi. Suara ibu panti menggema lebih keras dari adzan membangunkanku. Suara riuh ratusan anak mengantri di depan tiga toilet berukuran kecil. Kesemuanya tak lepas dari dunia pagiku. Aku tak mengelak. Aku juga tak membencinya hingga kuharus mengutuknya. Aku menerimanya sebagai takdir yang harus kuubah dengan menjadi sukses.

“Elsa, bantu ibu bangunkan adikmu!”, perintah itu melantung setelah ibu sadar aku telah bangun. Dengan gesit, kaki ini melangkah dari satu kamar ke kamar yang lain. Bibir ini berceloteh keras dan lebih keras hingga adik-adikku—yang jumlah hampir lima puluh orang—beranjak keluar, wuduh lalu shalat. Aktivitas pagi yang rutin.

***

“Aku berangkat.”, teriakku. Kuambil ransel biruku dan beranjak keluar dari pondok yang mulai sesak akan jiwa. Pengajian rutin setiap pagi akan segera dimulai. “Assalamu alaikum.”, lanjutku.

“Waalaikum mussalam.”, serempak semuanya membalasku.

“Tunggu dulu.”, cega ibu panti. Bulir keringatnya berjatuhan. Kumengerti betapa sibuknya ia, tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku menghentikan langkahku. Mimikku seperti menjawab, ‘ada apa?’.

“Kamu lupa hari apa ini?”, mimik ibu panti menjadi serius. Tangannya ia simpan di atas pundakku. Aku mencoba mengingat.

“Tidak ada yang special hari ini, ibu. Hari ini juga akan jadi hari sibuk untukku menyelesaikan skripsiku.”, balasku dan ibu panti mengangkat alis.

“Astagfirullah. Tujuh belas tahun yang lalu, tepat di hari yang sama dengan hari ini, ibu menemukanmu di depan panti. Sekarang kamu ingat?”, jelasnya. Aku mengerti. “Hari ini kamu menjadi remaja berusia tujuh belas tahun.”, lanjutnya.

“Ya. Aku baru ingat. Maaf!”, aku tersenyum.

“Ibu tidak bisa memberimu apa-apa seperti remaja lain. Tapi ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Apakah kamu menerima hadiah doa dari ibu?”, ibu panti tersenyum. Wajahnya dipenuhi harap, juga belas kasih. Bagiku, dialah ibu kandungku.

“Apakah aku minta sesuatu dari ibu?”, cibirku. “Aku akan bahagia dengan doa ibu. Terima kasih telah merawatku selama ini.”, ucapku memeluknya.

“Lihatlah modelmu. Apa kamu tidak tahu yang namanya stylist?”, tutur ibu panti. “Kamu tampak cantik dengan model-model jilbab yang lagi nge-trend itu.”, lanjutnya.

“Lagi pula, Allah tidak melihat seseorang dari model jilbabnya. Ini lebih mudah.”, balasku sembari memperbaiki jilbabku yang miring setelah memeluk ibu panti tadi.

“Paling tidak, kamu seharusnya membuat seorang pria menyukaimu.”, gumam ibu panti.

“Allah membenci seseorang yang mendekati zina. Aku hanya akan membuat suamiku nanti yang menyukaiku.”, aku tertawa. Ibu panti mulai mencari-cari alasan.

“Bagaimana kamu menemukan suami dengan cara seperti itu?”

“Dengan izin Allah. Ibu, sudahlah. Lagi pula, aku masih berumur tujuh belas. Aku masih mudah.”, tuturku.

“Kamu tahu. Dengan umurmu yang sekarang, kamu tidak akan mungkin lagi memunyai orang tua. Dulu, seniormu disini menikah di umurmu yang sekarang. Hanya dengan itu kamu punya keluarga.”, ibu panti menjelaskan. Aku mengerti.

“Aku tahu, ibu. Tapi aku masih ingin sekolah dan belajar. Aku pandai di sekolahku dan aku akan membantu ibu menghidupi adik-adik, serta pernikahan beberapa kakak disini.”, aku berucap. “Aku tidak meminta ibu membiayai sekolahku yang memang mahal itu. Aku hanya ingin ibu mengijinkanku tetap disini. Aku mohon.”, ucapku, dan ibu mengangguk, tampak pasrah dengan pernyataanku.

***

“Elsa, apakah dari tadi kau melamun?”, ucap sebangkuku membuyarkan lamunanku. Dia adalah Tania.

“Hah?”, ucapku kaget.

“Wow, ini langkah. Elsa melamun selama pelajaran. Hebat. Siapakah menjadikanmu seperti ini?”, Tania menyinggung.

“Ah, sudah.”, tanpa kusadar, kelas telah selesai. Kelas kedua datang dua jam selanjutnya—masih lama.

“Karena Stefano?”, godanya. Aku membulatkan mata. “Dia menyiapkannya dan sebelum dia mengungkap perasaannya, kau menolaknya. Kau sungguh kejam.”, lanjut Tania.

“Perasaannya?”, aku bodoh—juga telah keliru. Aku pikir.

“Apakah kau tidak tahu, Stefano menyukaimu?”, Tania blak-blakan.

“Aku menyukai semua orang.”, balasku, datar. Aku tidak ingin tenggelam dalam dunia yang mulai menyatu dengan duniaku. Allah SWT. tidak akan pernah mengijinkanku menyukai Stefano, aku bergumam. Duniaku dan dunianya memang berbeda dari awal.

“Sudahlah, Sa. Apa karena perbedaan agama itu lagi? Di dunia ini, itu udah nge-trend kali. Apa salahnya, cuma pacarankan?”, Tania kembali berucap memupuk kesal dan tanyaku.

“Aku hidup bukan untuk itu, Tania. Perbedaan agama? Itu bukan masalah sepele. Aku tidak butuh pacar. Tapi aku butuh imam dalam keluargaku nanti. Sosok yang bisa jadi ayah untukku atau bahkan sebagai ibu. Sosok itu akan jadi suamiku nantinya. Dan mana mungkin orang yang jadi imamku, orang yang bahkan tidak mengenal Allah, Tuhanku.”, aku membalasnya, Tania tertegun menelan ludah.

“Itulah Elsa. Orang yang bisa membuatku diam.”, Tania tertawa, mengundangku untuk tertawa juga. “Elsa, Seperti apa Tuhanmu?”, lanjut Tania.

“Dia sosok pemurah, Maha bijaksana, Maha pengampun, Maha penolong. Dia mencintai hamba-hamba-Nya. Jadi akupun sangat mencintai-Nya. Itu tak cukup untuk mewakili ke agungan-Nya.”, gumamku.

“Adakah sosok yang seperti itu? Lalu mengapa Ia membiarkan orangtuamu membuangmu?”, Pikir Tania.

“Aku meyakininya dengan sepenuh hatiku. Dia membiarkan orangtuaku membuangku, selalu ada alasan dibalik semua itu. Karena Dia ingin mempertemukanku dengan ibuku sekarang, ibu panti. Karena itu juga, sekarang kita saling kenal. Dan karena itulah aku tidak terluka di tengah konflik yang mungkin jadi alasan orangtuaku membuangku. Hebatkan?”, tuturku.

“Dasar! Kau menang lagi.”, gerutu Tania.

“Elsa!”, teriak seseorang. Itu adalah Stefano. “Untuk bisa jadi imammu, bisakah kau memberikanku kesempatan?”, lanjutnya, setelah kumenengok ke arahnya. Kakiku gemetar. Dia tidak membiarkanku menjawabnya, dia lari keluar kelas setelah mengambil ransel miliknya.

“Dia tidak mau ikut kuliah selanjutnya?”, tanya Tania. Aku masih pada posisiku. Kupikir hatiku telah direbut. Sakit rasanya, karena itu adalah dia.

“Prof.Richard punya acara hari ini. Pelajaran di tunda untuk besok. Kalian tidak mendengarnya?”, keluh Retno yang juga sekelasku.

“Oh. Okay. Thanks and bye.”, balas Tania. “Kau tidak apa-apa, Sa?”, tanyanya kepadaku.

“Entah, hanya saja sakit, disini.”, ucapku sembari memegang dadaku. Aku masih kaget. Aku mencoba mencerna kalimat Stefan.

“Tiba-tiba? Apakah itu jantung? Apakah orangtuamu punya sejarah penyakit jantung?”, Tania khawatir. Wajahnya tampak cemas berhasil menyadarkanku.

“Aku mana punya orangtua. Ah, sudah. Ayo pulang!”, gumamku. Tania masih heran.

“Sudah baikan? Padahal aku baru saja mau mengaplikasikan pengetahuanku. Aishh...!”, rengeknya.

***

Tak ada badai hari itu. Tapi hatiku terus bergumam akan ada badai—sebentar lagi. Lama, setelah aku mematung di buat oleh kalimat terakhir Stefano yang dilontarkan untukku. Bahkan masih hangat di telingaku suaranya memantulkan namaku. Kupikir aku hampir saja tenggelam. Atau mungkin aku telah tenggelam—dan saat ini berusaha kembali ke atas. Aku bahkan menjadikan hatiku topik di setiap doaku. Aku memohon untuk di berikan pentunjuk oleh-Nya.

‘Jika dia bukanlah utusan-Mu untuk hidupku, jauhkanlah aku darinya, Ya Allah! Karena aku tak mampu—bahkan tak mungkin—meninggalkan-Mu untuk berada di sisinya.’

Selama hampir sepekan, aku dan Stefano tidak pernah lagi dipertemukan dalam satu kelas. Ajaib. Kusadar inilah jawaban-Nya.

Kecuali hari ini. Kami berdua ditunjuk sebagai utusan sekolah untuk pemeriksaan kesehatan di pantiku. Pemeriksaan kesehatan itu rutin. Tapi ini pertama kali aku ditunjuk sebagai pelaksananya. Bahkan bersama Stefano.

‘Apakah sepekan itu waktu untukku mengintrospeksi diri?’, aku bergumam.

“Berangkatnya satu jam lagi.”, Stefano memulai percakapan. Aku mengangguk—juga menunduk. Tidak berani aku menatap mata abu-abunya. Mata yang hanya sekali kusaksikan, saat Stefano menadahku dari jejatuhan buku perpustakaan dari raknya. Pertemuan pertama kami dengan dosa yang telah kuperbuat. Melihat mata seseorang pria yang bukan mukhrimku.

“Tentang perkataanku sepekan yang lalu, apakah itu memberatkanmu?”, tanya Stefano.

“Ya. Kalimat itu tak pernah mengijinkanku tidur nyenyak.”, balasku.

“Maaf.”, ucap Stefano. Aku menggeleng mengisyaratkan ‘Tidak apa-apa’. Dia masih mencoba menggerakkan mulutnya. Aku was-was.

“Elsa!”, kumemohon untuk tidak mendengar apapun lagi. Entah, hatiku menggeliat. “Maukah kau melepas jilbabmu untukku?”, batinku terguncang. Tubuhku bak dibanting sekian kali. Dan saat aku masih mampu berdiri, kakiku ditendang, lalu diinjak berkali-kali. Aku jatuh, hingga aku tidak kuat untuk berdiri mencuri kekuatan. Aku tenggelam ke dasar hingga, sulit bagiku mencuri nafas. Hanya air kemanjaan yang terjatuh dari pelupuk mataku. Ia jatuh lagi, setelah kupikir ia telah lenyap. Perih. Aku membisu.

“Aku akan lakukan apapun untukmu. Aku janji.”, lanjut Stefano, setelah sadar aku menangis. “Kau mungkin berpikir aku bohong, tapi kau satu-satunya orang yang merebut hatiku. Tapi, aku menyerah, karena tak sanggup mencuri hatimu.”, kalimat mengalir dari mulut Stefano berhasil mencincang jiwaku. Aku berusaha tegar dan mulai berucap.

“Kau mau mendengarku sekali lagi? Setelah itu kurela jika kau tidak mau mendengarku lagi.”, ucapku. Lama, hingga Stefano mengangguk.

“Kau mungkin tak tahu, kalau dalam hatiku kau punya tempat. Di dalam sana, tempatmu berdampingan dengan jilbabku.”, tuturku dan dia menyimak. “Allah, Tuhanku, di posisi pertama, Nabi Muhammad SAW., tepat di urutan kedua. Kemudian jilbabku di posisi ke tiga. Tapi suatu waktu kau juga memasuki hatiku dan duduk tepat di samping jilbabku. Di posisi ketiga. Kau ada disana. Lalu, sekarang kau memintaku melepas jilbabku—yang artinya aku harus membuang cinta ke tigaku. Maka, akupun harus melepasmu.”, lanjutku. Stefano membisu. Dia mengerti maksudku.

“Stefano! Aku tidak butuh apa pun darimu. Aku bahkan tidak meminta secuil pun. Aku juga tidak ingin kau melepas segala sesuatu yang kau miliki untukku. Termasuk mengenal Tuhanku, karena diriku. Jadi, jika kita berdua hanya mampu seperti ini, biarlah seperti ini.”, tuturku.

“Tidakkah kau harus meminta mahar, jika ternyata kuingin melamarmu?”, tanya Stefano. Aku tersenyum. Kuusap air mataku.

“Jika itu harus, mahar yang kuinginkan adalah ke-ISLAMAN mu. Bukan karena diriku. Tapi karena kau yakin dan percaya kepada Allah SWT., Tuhanku dan Tuhanmu—suatu saat.”, simpulku. Kuberanjak dari tempat itu dan mengajaknya ke panti. Dia tersenyum dan mengangguk. Kupikir dia memahami perkataanku.

(Andi Nurfadriani/23:25/26-03-2015)

No comments:

Post a Comment