Wednesday 17 June 2015

Terakhir

https://semuacoretan.files.wordpress.com/2013/08/puisi-perpisahan.jpg
 Kilauan matanya menyambar pagiku. Senyumnya terpancar ramah menghangatkan hariku. Tak henti-henti rengkuhan kasih sayangnya menyelimuti setiap nafasku. Kupikir dialah dinding tempatku bersandar. Dialah lampu yang membantuku dalam gelap. Dia adalah kakak yang mungkin egois, jika kuingin dia selalu ada untukku.

              “Pagi, Lili!”sapanya. Tangannya melambai mesra ke arahku. Sementara lenganku terasa kaku. Tidak terpikir olehku betapa berat telapak tanganku hari ini. Aku hanya mengepal tanganku membentuk tinju kecil di samping badanku.

              “Wew. Kalau disapa balas dong!”dia mendekatiku memukul pundakku. Kumulai pamerkan senyum paling manisku. Mulutku masih terbungkam.

              Betapa kuingin hari ini jadi hari terbaik. Matahari bersinar penuh ramah tamah. Awan tak berani muncul di atas kepala. Angin berhembus menerbangkan ujung jilbab—membawa kesejukkan yang berarti. Tapi kutahu hari ini akan jadi hari membosankan. Ketika dia memulai mengucap untaian kalimat penipu. Ketika dia mulai memorak-porandakan jiwa yang terisak. Ketika ucapan perpisahan itu terungkap sudah.

              Hari ini bukanlah hari pertama kami bertemu, tapi hatiku terus berucap meyakinkanku—bahwa ini hari terakhir kami. Siapalah yang tahu kapan ajal menjemput, setelah perpisahan terjadi? Meski untaian kata-kata melankolis mulai melontar janji.

              “Hei. Jangan seperti! Aku hanya sebentar.” Ucapnya, membuatku diriku semakin tak kuat.

***

              “Lili, lulus nanti kamu ingin sekolah dimana?” tanyanya. Perempuan dengan kilauan mata paling menyejukkan itu—bertanya padaku. Aku terdiam memikirkan khayalan-khayalan yang baru saja merasuki pikiranku.

              “Aduh, kak! Tentu akan ada banyak sekolah yang menginginkanku. Aku hanya perlu memilih antara Harvard dan Oxford.” kututup dengan senyum yang memperlihatkan deretan gigiku yang rapi.

              “Amiin.” ucapnya. Aku masih tersenyum.

              “Kalau kakak yah, Aku ingin sekali sekolah ke Jepang. Karena itu kakak belajar bahasa Jepang dengan tekun. Mungkin saja, suatu saat ada durian runtuh yang menimpaku.” jelasnya di selingi canda. Aku penasaran.

              “Jika tiba-tiba kakak punya kesempatan, gimana?” tanyaku.

              “Tentu, aku ambil kesempatan itu. Rejeki tidak boleh ditolak. Kamu takkan pernah tahu kapan dia menghampirimu lagi...” aku menyimak.

              “Lalu, aku akan berusaha keras, mungkin aku juga bisa menetap disana, bekerja disana, dan berkeluarga disana.” simpulnya. Aku tertawa.

              “Jangan tertawa! Aku serius.” ucapnya. Wajahnya benar-benar menampakkan keseriuasan. Aku tahu.

***

              Kubergumam pelan dalam hatiku. ‘Bohong! Kakak bahkan tidak akan kembalikan?’ Tak tega diriku melontarnya, lalu kutahu bahwa kumelukai mimpinya.

              Kesempatan akhirnya menghampirinya. Seperti yang pernah dia katakan, dia menerimanya tanpa ragu. Alasannya sederhana, perempuan—yang masih sama dan sedang berdiri di depanku—adalah sosok yang kukagumi karena semangat dan kejujurannya. Dia tidak pernah mengumbar janji. Dia tidak pernah ragu dengan apa yang dia ucapkan. Dia adalah senior hebat di mataku. Beruntung, dia mengangkatku sebagai sosok yang berarti meski aku hanya junior yang bodoh. Sungguh kubersyukur, dia menamaiku sahabat.

             “Apakah aku akan selalu diabaikan? Aku bahkan jauh-jauh datang kesini untuk bertemu adik kesayanganku.” celotehnya.

              “Ahh, maaf. Kapan berangkat, kak?” balasku.

              “Sore ini. Karena itu aku datang pagi-pagi untuk melihat dirimu...” ungkapnya. “aku penasaran, seperti apa adik kecilku setelah naik kelas. Wew, sekarang kau sudah kelas duabelas. Menghitung bulan, kau akan lulus. Hebatkan?” lanjutnya.

              “Hahahah.. terdengar mudah. Tapi, sayangnya tidak.” balasku sayup-sayup.

              “Ini akan mudah, jika kau pikir mudah. Jangan bebani dirimu. Bagaimanapun sulitnya hari ini, matahari yang terbit akan tetap tenggelam.” godanya. Besok, lusa, besok lusa, hingga hari yang tidak berani kuhitung, aku tidak akan pernah mendengar lagi suara matang itu.

              “Iya juga.” aku tertawa. Kutahu dia sangat bahagia dari sorot wajahnya. Tak mungkin, aku menghentikan kebahagiaan itu dengan menampilkan wajah cengengku. Seperti hari pertama kumengenalnya.

***

              Waktu itu, hari sedang tidak bersahabat. Semua orang tampak mengabaikanku. Semua pelajaran bahkan menolakku. Tidak satupun yang tersenyum ramah menanggapiku—selain tatapan sinis dan ocehan yang merenggut empatiku. Seorang diri aku duduk di bangku panjang dan mulai menerawang langkahku.

              “Salahkah pilihanku? Kumemilih sekolah ini. Kubahkan memilih jurusan ini. Dan sekarang kuharus menanggung dampak semua ini.” celotehku sedikit kesal..

              “Kau tidak salah. Hanya saja kurang tepat.” perempuan dengan mata yang penuh kesejukkan itu menyela ucapanku.

              “Kurang tepat itu sama sajah kalau salahkan? Itulah yang dinamakan konsistensi.” balasku.

              “Lihat, sekarang ucapanmu tepatkan?” rayunya. Aku sedikit kesal.

              “Ini bukanlah kiamat. Untuk apa kau meragukan apa yang telah terjadi dan menyesalkan hal yang bahkan belum kau lalui.” ungkapnya. Aku diam menyimak kalimat demi kalimat yang ia lontarkan.

              “Jika orang lain menghinamu. Maka yang harus kau perbuat adalah buat mereka memujimu suatu saat.” lanjutnya. Aku tersenyum, kusetuju dengannya.

              “Iya juga.” lontarku pelan.

              “Hahahha.. Aku akan jadi partnermu mulai sekarang. Kau murid barukan?” tanyanya dan aku mengangguk. “berarti aku seniormu. Panggil aku kakak.” lanjutnya.

              “Tidak punya nama lengkap?” ucapku.

              “Rasti adinda.” jawabnya. Kami tertawa.

***

              Dia memelukku. Kutak berani menengok wajahnya, karena kupikir air mataku akan tumpah melucutiku.

              “Jadilah anak baik.....”dia berucap.

              ‘Dia masih saja memperlakukanku seperti anak kecil’ batinku.

              “Jangan pernah jadi Lili yang mudah patah semangat.”

              ‘Aku janji, kak..’

              “Aku tidak bisa tidak mengkhawatirkanmu.”

              ‘Sulit untukku, jika kakak tidak ada di sisiku.’

              Dia melepaskan pelukannya. Kusadar air mataku mulai mengalir, dan dia menyaksikannya.

              “Jangan menangis! Karena aku akan menangis juga.” Dia tertawa. Matanya tampak sayu.

              “Aku tidak ingin, tapi ini otomatis.” kuusap air mataku dan menemaninya tertawa.

              “Aku harus pulang persiapkan barang-barangku.” ungkapnya.

              “Aku juga harus masuk kelas sekarang.” balasku, semringah.

              “Jaga dirimu baik-baik.” air matanya melesat cepat. Tapi mataku menangkapnya. Dia mengusapnya.

              “Rasti Adinda. Ganbatte!” ucapku mengangkat tinju kecilku dengan manis.

              Dia tersenyum, lalu perpisahan itu benar-benar terjadi. Dia pergi mengejar mimpinya. Sementara aku tinggal untuk menggapai mimpiku. Kami berpisah, dan entah kapan akan bertemu lagi.

              “Jika kau dengan sigap tersenyum untuk sebuah pertemuan, maka siapkan dirimu untuk tidak menangis pada sebuah perpisahan.” Aku meneguhkan mimpiku.

(By Andi Nurfadriani/For Nursrianti Nawir/19.22/23-04-2015)

No comments:

Post a Comment