Detak detik jam masih melantung memasuki waktu
impian. Tidak peduli betapa suara kantuk ataupun nyenyak mengabaikannya. ‘Akhirnya!’ mungkin
jiwa yang terlelap pun ikut mengucapkan kalimat melankolis pada diri sendiri.
Ketika usia beranjak meninggalkan hidup berlabel enam belas. Saat jiwa
harus memikul tanggung jawab yang lebih besar—juga lebih penting—sebagai
sulung. Sebagai sulung yang dibanggakan, haruskah kujuga berbangga diri. Kata ‘tidak’ dengan sigap muncul dalam
benak. Beban itu sungguh berat tuk kupikul. Tapi, itupun sebuah
keharusan.
Satu-persatu ucapan
terlantung begitu manis di peringatan termanis—mungkin. Tepatnya semua orang
menyebutnya manis. Bahkan sebelum hari ini, ucapan-ucapan selamat itu terlontar
ingin kutengok. Tapi, apa dayaku? Aku hanya memiliki satu kepala. Sulit untukku
menengok semua dan seluruh sekaligus. Karena itu, ‘Maaf!’ kata yang terlontar
penuh arti.
***
“Yos.. yos.. Happy old
day! Now you’re seventeen. Have a nice and sweet seventeen. I just hope all the
best thing come close to you. Love ya~..” pesan berdering meriah.
“Belum.”
gumamku. Karena faktanya hariku baru tiba besok.
“Untuk
besok itu. Hahaha.” pesan selanjutnya. Aku tersenyum berarti.
***
“Happy
birthday, wish you all the best! A.Nunu cantik, baik, pintar, bondeng, imut,
cerewet, suka anime, jago menghapal. Dari Michelle.” kembali berdering. Tapi,
hari yang berbeda. Hariku telah tiba. Ketika puing-puing hidup yang baru di
pertambahan umurku mulai kujelajah. Kutersenyum. Siapa yang bisa menolak beribu
doa yang terlontar oleh mereka? Tentu, kubahagia.
Apa yang spesial dari
tahunku ini? Terngiang dalam benak. Apakah memang semanis itu? Sehingga pantas
mendapat gelar ‘Sweet Seventeen’. Seketika pikiran-pikiran mulai
menggelitikku—memerintah tanganku untuk memuntahkan isinya. Aku masih tersenyum
bak jawaban kutunggu telah tiba.
Tujuh belas tahun
adalah tahun dimana remaja akan dikatakan dewasa. Mengapa? Karena di tahun
itulah seseorang tersebut akan menerima penghargaan terbesarnya setelah hidup
bertahun-tahun—yakni pengakuan oleh negara. Siapa yang menolak sebuah
pengakuan?
Tujuh belas tahun.
Musim seminya hati yang memekarkan bunga. Musim pancaroba jiwa
yang lemah. Musim gugurnya daun pohon prinsip. Musim eksperimen hasrat dan
jiwa. Musim pencipta karakterasistik permanen. Musim dipertaruhkannya diri
untuk hidup lebih lama. Dianggap lebih lama lagi untuk dipanggil manusia.
Menakutkan!
Hidupku tak
berbeda—sama dengan penelitianku akan manusia. Karena, toh akupun adalah
manusia. Buih-buih perasaan romantisme akhirnya jatuh menghantam prinsipku.
Hasrat manusia yang ingin dicintai dan mencintai akhirnya tertaruh dalam
jiwaku. Bukan kusengaja. Akupun kaget, ketika menyadarinya dan berusaha
kuabaikan. Tapi, sanggupkah aku?
Hidupku dipertaruhkan.
‘Rumit’ kata ini muncul tidak menghancurkan gumamku—malah mempersulitnya. Bagaimana
kumempertanggung jawabkannya di depan Allah, orang tuaku, dan diriku sendiri.
Apakah ini murni dari hati ini? Aku pernah tersesat dalam pikiranku sendiri.
Sebelum nasehat-nasehat itu membuatku memutuskan sesuatu hal yang sulit. Juga
mungkin sedikit bubuhan takdir.
“Jatuh cinta bukan hal
yang lumrah. Itu hakikatmu sebagai manusia.” jawab seorang pria paruhbaya.
“Tapi ingat cinta utama
manusia adalah Allah.” jelas wanita muslimah.
Aku tersenyum pasti.
Kupikir, aku telah berdosa besar karena memekarkan bunga dalam relung jiwaku.
Allah yang menurunkan perasaan ini, kenapa harus kutolak? Tapi tetap saja
kuingin dalam batasan yang bebas dari syahwat. Yaa Rabb kumemohon
perlindunganmu.
Tujuh belas tahun.
Apalagi yang spesial di tahun yang katanya manis? Disini peranku akan lebih
besar. Karena aku sekarang berlabel dewasa—masih peralihan. Tapi, setidaknya
aku akan tercantum sebagai pemilu. Itu bukan pilihan mudah.
Lalu, peranku terhadap
keluargaku. Bisakah kuterus menopang dagu dan menadah telapak tangan di depan
orang tuaku? Mana boleh seperti itu? Tapi, kumemohon tunggu aku lulus dulu. Apa
yang bisa kulakukan dan membuat mereka bangga? Satu-satunya cara ada masuk
peringkat umum sekolah. Itupun sebuah keharusan. Yaa Rabb, kabulkan
permohonanku itu. Aamiin.
Jadi apakah tahun ini
benar-benar manis untuk putri sulung sepertiku? Tidak manis, tapi setidaknya
masih bisa kutelan saat ini. Meski kadang gumpalan batu amarah membuatku
tersedak.
"Aku mencintai kalian--yang hadir dalam hidupku. Sungguh!"
(Tulipungu/18.06.2015)