Friday, 19 June 2015

Von Amor Ice Cream




Von Amor Ice Cream

Apa yang terjadi hari ini?
Waktu tak berhenti dan tak berjalan
Hati begitu ringan tapi berat untuk dirasakan
Tak ada yang terjadi, tapi langit belum selesai

Kuletakkan M diatas V
Langit tak meninggalkan tempatnya
Aku ingin melupakannya...
Sensasi hati yang kau beri
Aku ingin melupakan senyummu
Agar ada alasan tuk terus melihatnya

Waktu masih berjalan dan jarak bukan penghalang
Aku hanya berdiri di depan jendela ini
Memandang langit yang terus ada di atas kepala
Meskipun warnanya berbeda

Apa kau melihat cahaya perak itu?
Yang bersinar menembus jarak
Jarak yang masih dibatasi waktu
Yang kuingat hanya bintang itu
Meskipun aku tak mengharapkannya

Yang kuharapkan hilangkan ingatanku
Ingatanku tentang senyummu
Agar kau terus mengingatkanku
Dengan memperlihatkan senyummu
Meskipun jauh

Hatiku memberontak, pikiranku melawan
Sensasi yang tak bisa kutolak
Hanya memohon penjarakan diriku
‘In YourHeart’..

(I Scream to Ice cream)

Thursday, 18 June 2015

Tahun Manis



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOlJdvMAuMWEpyjqD1GS6xGMbI4MmDD_sikPfQ8gFUO7IhlUWHdyHUOAGLfTYc8nyMjyJ3ZTDpIl9aN4kUQ7Ws6Z0-0KOHm2InQHLrXa1aPTW_Gw98JL-UHg8FDeV7gWlMHSgVtL7hZY4/s1600/76-Happy-Birthday-01.jpg          

   Detak detik jam masih melantung memasuki waktu impian. Tidak peduli betapa suara kantuk ataupun nyenyak mengabaikannya. Akhirnya! mungkin jiwa yang terlelap pun ikut mengucapkan kalimat melankolis pada diri sendiri.

Ketika usia beranjak meninggalkan hidup berlabel enam belas. Saat jiwa harus memikul tanggung jawab yang lebih besar—juga lebih penting—sebagai sulung. Sebagai sulung yang dibanggakan, haruskah kujuga berbangga diri. Kata ‘tidak’ dengan sigap muncul dalam benak. Beban itu sungguh berat tuk kupikul. Tapi, itupun sebuah keharusan.

              Satu-persatu ucapan terlantung begitu manis di peringatan termanis—mungkin. Tepatnya semua orang menyebutnya manis. Bahkan sebelum hari ini, ucapan-ucapan selamat itu terlontar ingin kutengok. Tapi, apa dayaku? Aku hanya memiliki satu kepala. Sulit untukku menengok semua dan seluruh sekaligus. Karena itu, ‘Maaf!’ kata yang terlontar penuh arti.

***

              “Yos.. yos.. Happy old day! Now you’re seventeen. Have a nice and sweet seventeen. I just hope all the best thing come close to you. Love ya~..” pesan berdering meriah.

              “Belum.” gumamku. Karena faktanya hariku baru tiba besok.

              “Untuk besok itu. Hahaha.” pesan selanjutnya. Aku tersenyum berarti.

***

              “Happy birthday, wish you all the best! A.Nunu cantik, baik, pintar, bondeng, imut, cerewet, suka anime, jago menghapal. Dari Michelle.” kembali berdering. Tapi, hari yang berbeda. Hariku telah tiba. Ketika puing-puing hidup yang baru di pertambahan umurku mulai kujelajah. Kutersenyum. Siapa yang bisa menolak beribu doa yang terlontar oleh mereka? Tentu, kubahagia.

              Apa yang spesial dari tahunku ini? Terngiang dalam benak. Apakah memang semanis itu? Sehingga pantas mendapat gelar ‘Sweet Seventeen’. Seketika pikiran-pikiran mulai menggelitikku—memerintah tanganku untuk memuntahkan isinya. Aku masih tersenyum bak jawaban kutunggu telah tiba.

              Tujuh belas tahun adalah tahun dimana remaja akan dikatakan dewasa. Mengapa? Karena di tahun itulah seseorang tersebut akan menerima penghargaan terbesarnya setelah hidup bertahun-tahun—yakni pengakuan oleh negara. Siapa yang menolak sebuah pengakuan?

              Tujuh belas tahun. Musim seminya hati yang memekarkan bunga. Musim pancaroba jiwa yang lemah. Musim gugurnya daun pohon prinsip. Musim eksperimen hasrat dan jiwa. Musim pencipta karakterasistik permanen. Musim dipertaruhkannya diri untuk hidup lebih lama. Dianggap lebih lama lagi untuk dipanggil manusia. Menakutkan!

              Hidupku tak berbeda—sama dengan penelitianku akan manusia. Karena, toh akupun adalah manusia. Buih-buih perasaan romantisme akhirnya jatuh menghantam prinsipku. Hasrat manusia yang ingin dicintai dan mencintai akhirnya tertaruh dalam jiwaku. Bukan kusengaja. Akupun kaget, ketika menyadarinya dan berusaha kuabaikan. Tapi, sanggupkah aku?

              Hidupku dipertaruhkan. ‘Rumit’ kata ini muncul tidak menghancurkan gumamku—malah mempersulitnya. Bagaimana kumempertanggung jawabkannya di depan Allah, orang tuaku, dan diriku sendiri. Apakah ini murni dari hati ini? Aku pernah tersesat dalam pikiranku sendiri. Sebelum nasehat-nasehat itu membuatku memutuskan sesuatu hal yang sulit. Juga mungkin sedikit bubuhan takdir.

              “Jatuh cinta bukan hal yang lumrah. Itu hakikatmu sebagai manusia.” jawab seorang pria paruhbaya.

              “Tapi ingat cinta utama manusia adalah Allah.” jelas wanita muslimah.

              Aku tersenyum pasti. Kupikir, aku telah berdosa besar karena memekarkan bunga dalam relung jiwaku. Allah yang menurunkan perasaan ini, kenapa harus kutolak? Tapi tetap saja kuingin dalam batasan yang bebas dari syahwat. Yaa Rabb kumemohon perlindunganmu.

              Tujuh belas tahun. Apalagi yang spesial di tahun yang katanya manis? Disini peranku akan lebih besar. Karena aku sekarang berlabel dewasa—masih peralihan. Tapi, setidaknya aku akan tercantum sebagai pemilu. Itu bukan pilihan mudah.

              Lalu, peranku terhadap keluargaku. Bisakah kuterus menopang dagu dan menadah telapak tangan di depan orang tuaku? Mana boleh seperti itu? Tapi, kumemohon tunggu aku lulus dulu. Apa yang bisa kulakukan dan membuat mereka bangga? Satu-satunya cara ada masuk peringkat umum sekolah. Itupun sebuah keharusan. Yaa Rabb, kabulkan permohonanku itu. Aamiin.

              Jadi apakah tahun ini benar-benar manis untuk putri sulung sepertiku? Tidak manis, tapi setidaknya masih bisa kutelan saat ini. Meski kadang gumpalan batu amarah membuatku tersedak. 

"Aku mencintai kalian--yang hadir dalam hidupku. Sungguh!"

(Tulipungu/18.06.2015)

             

Wednesday, 17 June 2015

PUZZLE

http://vickiwhiting.com/wordpress/wp-content/uploads/puzzle.jpg

Hidup itu ibarat puzzle. Penuh teka-teki yang pada hakikat hanya memiliki satu jawaban. Layak pintu yang tidak punya kunci cadang.

Tidak akan utuh, jika itu hanya satu potongan. Dan tidak akan sesuai, jika potongan itu diletakkan di tempat yang tidak seharusnya. Segalanya telah diatur oleh Sang Pembuat puzzle.

Lalu bagaimana aku harus menyelesaikan puzzle itu?

Dengan mudahnya, diriku menyelesaikan puzzle milik orang lain. Karena saat itu, kuberpikir puzzle itu sekedar permainan. Dan sungguh lucu menyaksikannya.

Mengapa? Karena aku tidak mempertimbangkan kebenaran puzzle itu. Aku hanya melihat dari sudut mataku, atau sesekali kugunakan mata kepala. Kupikir puzzle itu bukan milikku.

Berbeda jika puzzle itu milikku. Itulah puzzle yang paling sulit. Bahkan diriku ingin menyerah dengan puzzle itu.

Mengapa? Karena puzzle itu berarti seluruh hidup Sang Pemilik. Kebenaran 100% dipertaruhkan. Siapa yang berniat mengatur hidupnya secara sembarang?

Sehingga puzzleku bahkan tak pernah terselesaikan. Mungkin memang seharusnya tidak terselesaikan.

Bagiku, orang di sekitar adalah objek penelitian terhebat. Aku bersenang-senang dengan objek itu. Dan penelitianku seharusnya tidak salah.

Lalu kucoba alihkan objek itu pada diriku? Tidak satupun penelitianku yang terjawab. Saat kumelontarkan pernyataan, diriku dengan sigap menyanggah, atau sekedar ragu. Saat kunilai diriku, sesuai aturan yang bersifat objektif itu, aku takut dengan kenyataan bahwa penelitianku benar. Selalu seperti itu?

Selalu kutengok segala sisi. Berdampakkah? Pentingkah? Haruskah? Selalu saja. Dan aku mulai tidak suka dengan kondisi itu. Pada saat aku memusatkan perhatianku pada puzzle milikku. Meski, kutahu yang kulakukan adalah manusiawi.

Akhir, kumenyerah untuk menyelesaikan puzzleku. Kutemukan jawaban yang paling tidak masuk akal dalam relung pemikiranku.

"Jika dengan mudah kudapat selesaikan puzzle orang lain, mungkin kubisa mengijinkan orang lain menyelesaikan puzzleku."-

Adikku bertanya, "Siapa orang itu?" Aku hanya menggeleng

(Tulipungu/20.08/22-04-2015)