“Waktunya bangun. Waktunya
bangun.”suara semringah dari burung beo di dalam apartementku membuatku
terbangun dari mimpiku yang aneh. Kulihat jendela dengar tirai yang sedikit
terbuka, dengan sinar mentari yang berusaha masuk kecela-celanya. Kuberanjak
bangun dari tempat tidurku, kemudian membuka tirai itu lebar-lebar, dan
membiarkan sinar mentari itu menyinari ruang apartementku yang gelap. Sinar
mentari pagi yang terlihat begitu indah, dan terasa begitu nyaman. Mungkin akibat
hujan semalam yang cukup deras, berhasil membersihkan lapisan bumi dan sinar itu
dari polusi udara dari kota metropolitanku. Kutersenyum simpul, saat melihat
Adit, sahabatku mengayunkan tangan di tempat perhentian bus menuju kearahku.
“Cepatlah !”bentuk bibirnya yang
seperti mengucapkan kata itu, membuatku berlari mengambil handuk dan menuju ke
kamar mandi dengan sesegera mungkin.
***
“Cepatlah sebelum kau terlambat
!”tegur mama, saat aku menuju meja makan untuk mengambil sepotong roti yang
siap untuk kulahap. Wajahnya mencerminkan keraguan, entah apa? Namun kuyakin,
itulah keraguan dan kekhawatiran seorang ibu. Tentunya untukku, satu-satunya
anak perempuannya. Namun apa?
“Hemm, ya.”balasku tersenyum simpul. Kuperhatikan kedua adikku, Rico dan Ricky yang dengan polosnya melahap rotinya tanpa memedulikan selai yang memenuhi tangan, hingga wajahnya. Kuambil sehelai tisu, dan membantunya membersihkannya. “Kalau makan, nggak boleh belepotan seperti ini ! Kalian tampak jorok. Iiiyyyuuu..”tegurku lirih sambil memperlihatkan wajah jijik yang kusengaja agar kedua anak yang masih berumur 6 dan 5 tahun itu mengerti maksudku.
“Hemm, ya.”balasku tersenyum simpul. Kuperhatikan kedua adikku, Rico dan Ricky yang dengan polosnya melahap rotinya tanpa memedulikan selai yang memenuhi tangan, hingga wajahnya. Kuambil sehelai tisu, dan membantunya membersihkannya. “Kalau makan, nggak boleh belepotan seperti ini ! Kalian tampak jorok. Iiiyyyuuu..”tegurku lirih sambil memperlihatkan wajah jijik yang kusengaja agar kedua anak yang masih berumur 6 dan 5 tahun itu mengerti maksudku.
“Kakak sendili, belepotan.
Iyyuuuu.”ucap sibungsu Ricky, sambil menunjuk pipi kirinya dengan jijik,
mengikuti apa yang kukatakan sebelumnya.
“Hem?”tuturku, sembari dengan segera
menuju kedepan cermin dalam kamarku, dan kemudian diikuti gelak tawa ibu dan
kedua adikku. Kulihat pipi kananku yang sidikit belepotan seperti wajah Ricky
karena selai. Namun beda denganku, yang belepotan itu bukan selai melainkan
liplos, yang tadi kugunakan dengan tergesa-gesa. Wajahkupun memerah karena
malu. Tak sanggup lagi kumunculkan muka dihadapan ibu dan kedua adikku itu.
Mungkin ini maksud dari wajah keraguan ibuku. Aisshh, mereka menyebalkan,
batinku. Dengan segera kuambil tisu basah dimeja, kemudian membersihkan liplos
belepotan itu dari wajahku yang tengah membuatku malu berat. Lalu, kerapikan
bedakku yang sidikit rusak. Setelah itu, kukumpulkan mentalku untuk kembali
keluar dari kamarku.
Tampak datar. Itulah tatapan mereka
saat aku melangkahkan kaki keluar dari kamarku. Tatapan yang lebih kubenci
dibandingkan dengan ejekan yang sudah siap kuterima. Itulah mereka. Mereka
selalu membuatku malu, dan membuatku tak sanggup lagi untuk berdiri di depan
mereka. Namun, mungkin bagi mereka tidak seperti itu. Mereka menyayangiku, dan
merekalah harta yang satu-satunya kupunya. Satu paket cinta. Seperti itulah
peran mereka dalam hidupku. Meski ayahku sudah tiada diantaranya, namun beliau
juga termasuk dalam satu paket cintaku.
Tanpa sepatah kata yang terucap dari
mulutku, kuberjalan keluar, dan setelah tiba di depan pintu, kuberteriak “Aku
berangkat.” Terdengar balasan ibuku yang mengatakan, “Hati-hati di jalan.” yang
kemudian membuatku tersenyum. Kumelangkahkan kaki sembari melipat tanganku dan
memohon, “Hari ini dimulai dengan sedikit memalukan, namun kuharap tidak
berlanjut dikemudiannya.” Batinku yang kemudian diamini oleh seseorang yang
tiba-tiba mengagetkanku dari belakang.
“Kakak.”ucapku spontan, dan dia hanya
tersenyum mengikuti langkah kakiku yang belum terhenti semenjak keluar dari
apartementku tadi. “Apanya yang amin?”tanyaku. Mana mungkin dia mendengar kata
batinku? Pikirku.
“Do’a mu tadi.”balasnya tersenyum.
Mungkin dia melihat aku melipat tanganku tadi, dan dia menebak-nebak kalau aku
sedang memohon suatu hal. Batinku, lega.
“Ouwhh, itu. Emangnya, kakak tahu
apa?”candaku dengan sinis, tanpa menghentikan langkahku yang dipercepat,
kemudian membalikkan badanku berjalan mundur melihatnya berjalan mengikutiku.
“HARI INI DIMULAI DENGAN SEDIKIT
MEMALUKAN, NAMUN KUHARAP TIDAK BERLANJUT DIKEMUDIANNYA.”teriaknya
mengagetkanku, yang kemudian berlari menutup mulutnya, namun semua kata batinku
telah diucap olehnya, sebelum aku berhasil menutup mulutnya.
Matanya menatap mataku lebih dalam, dan
membuatku jantungku mulai berdegup. Ada apa ini? Batinku, yang kemudian
melepaskan tanganku yang menggantung di mulutnya. Memalukan. Batinku yang
kemudian disambut oleh gelak tawanya. Lagi-lagi, dan untuk kedua kalinya aku
ditertawakan. Pikirku, dan memulai untuk berbicara.
“Darimana kakak tahu?”cibirku.
“Siska. Apa yang tidak aku tahu
tentangmu?”bangganya.
“Tapi, yang tadi itu, persis sama dengan
kata batinku. Aku bahkan tidak pernah mengucapkannya. Lalu…”
“Lalu… aku tahu secara mendetail. Begitu?”potongnya, kemudian
melanjutkan langkah kakinya yang tadi tertunda olehku. Sekarang laju jalannya
mulai dipercepat 2 kali lipat, apalagi suasana tangga yang panjang sesuai
dengan kondisi, dimana dia berusaha menghindar dariku. Dugaku.
“Kakak tunggu. Jawab dulu akunya,
bagaimana kakak tahu?”teriakku, berlari untuk menyeimbangkan langkah kakinya
yang panjang, sesuai dengan bentuk kakinya yang terbilang jakun itu.
Dia berbalik melihatku yang masih
berdiri kokoh di anak tangga teratas, kemudian tersenyum dengan begitu
tampannya. “Kalau kau bisa mengejar dan menangkapku, aku akan memberitahumu
secara mendetail pula.”teriaknya, yang kemudian berlari, dan menghilang dari
tatapanku dengan segera. Itu memang hobbinya. Datang disaat otak lagi direfresh-refreshnya, kemudian
pergi dengan satu virus yang mengganggu lajunya pemikiranku dan sering
menyebabkan hang, bak virus komputer.
“Astaga… Adit.”ucapku seketika, saat aku teringat dengan dia yang menungguku ditempat perhentian bus
sedari tadi. Kulihat jam putih dengan motif salju yang melingkar di tanganku,
dan telah menunjukkan pukul 07.45. Sudah sangat terlambat dari jam masuk
sebenarnya, yakni pukul 07.15. Kuberlari dengan terbirit-birit, sembari
membayanagkan wajah kesal dan marahnya. Sama seperti saat aku membolos tanpa
memberitahunya dengan kencan bersama Kak.Gege, kakak yang tadi membuatku kesal
setengah mati di sebuah kincir angin raksasa. Sebenarnya bukan kencan, hanya
aku yang menganggapnya seperti itu, atau tidak demikian bagi Kak.Gege.
Kembali
tentang Adit.
Adit sangat benci kalau aku membolos.
Katanya, aku menyianyiakan amanah ibuku yang berharap aku sekolah dengan baik.
Apalagi dengan Kak.Gege, entah mengapa Adit sangat tidak suka bila aku dekat
dengan Kak.Gege. Katanya, Kak.Gege itu playboy dan tidak cocok denganku. Meski
aku setuju dengan alasan marah Adit karena aku membolos dan mengatakan maaf
kepadanya untuk itu, aku tidak setuju saat dia bilang kalau Kak.Gege itu
playboy dan tidak cocok denganku. Karena dia sama sekali tidak mengenal
Kak.Gege, lebih dari yang aku kenal. Sebab aku mengenal Kak.Gege, jauuuhhh
lebih lama dari yang Adit kenal, sehingga aku membentaknya waktu itu.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang
Kak.Gege, jadi kau juga tidak punya hak mengatakan itu.”bentakku, kala itu.
“Memang benar, aku tidak mengenalnya.
Tapi aku mengenalmu, dan itu sudah cukup untuk membuatku marah, saat kau dekat
dengannya. Namun, kau malah membentakku. So,
itu terserah denganmu! Aku tidak akan peduli lagi.”mulai saat itu, selama
hampir satu bulan dia tidak pernah memedulikanku. Aku pikir itu mudah, namun
karena aku dan dia satu kelas, bahkan sebangku, itu sedikit sulit untuk tidak
menyapanya setiap pagi, untuk tidak bercerita dengannya tentang kelucuan
Rico-Ricky, untuk bertanya akan kesulitanku terhadap Mapel tertentu, ataupun untuk curhat dengannya tentang cinta
pertamaku, Kak.Gege. Sehingga aku memutuskan untuk minta maaf kepadanya. Namun
jangan salah, proses permintaan maafku padanya,
berjalan hampir selama aku tidak pernah berbicara dengannya, dan sangat sulit
tentunya. Saking, sulitnya meredakan emosinya saat dia marah, aku harap hari
ini tidak seperti halnya waktu itu. Aku malah lebih berharap dia ke sekolah
mendahuluiku atau meninggalkanku, daripada dia menungguku dan marah. Bayanganku
tentang kemarahannya membuatku mempercepat laju langkahku, hingga tepat
sekarang aku berdiri di sisi lain dari tempat perhentian bus. Tampak dia sedang
berbicara dengan seseorang di balik telepon genggamnya. Dengan siapa? Batinku.
“Siska…?”tanyanya dengan seseorang di balik telepon genggamnya itu.
“Bukan. Ini ibunya Siska. Dia melupakan Handphonenya. Ada apa ya?”
“Tidak, tante. Cuma mau nanya Siska
dimana?”
“Ouwhh, gitu. Dia sudah berangkat
sekitar setengah jam yang lalu. Mungkin dia sudah ada diperjalanan. Ditunggu
saja, ya ! Siska memang orang yang lelet. Maaf !”
“Tidak apa-apa, tante. Iyya, saya masih
kuat menunggu, kok. Terima kasih tante.”
“Yapp, sama-sama.”
Kutatap wajah khawatirnya, yang kemudian
berpapasan dengan wajahku. Kupikir dia bersiap untuk mengomeliku. Namun, dia
tersenyum dengan begitu manisnya. Kubalas senyumnya, dan menghampirinya. “Maaf.
Aku melupakan handphoneku.”kupikir
aku harus mengatakan itu, apalagi setelah dia menelponku dan yang mengangkatnya
adalah mamaku.
“It’s
okay for that. But, kau harus menjelaskan mengapa kau bisa menuruni tangga
apartementmu selama itu? Tidak mungkinkan, tangganya bertambah banyak?”candanya
sinis.
“Tadi aku bertemu dengan penghuni baru
apartement di lantai 2, dan dia menyapaku, sehingga aku menghabiskan banyak
waktu untuk sekedar bercengkrama dengannya. Karena itu, I have to say sorry for you. I’m so sorry.”bohongku dengan rasa
bersalah yang terasa berat. Tak mungkin aku bilang kalau aku terlambat karena
berpapasan dengan Kak.Gege di depan Apartementku, dimana mungkin Kak.Gege
sengaja menungguku. Sengaja menungguku. Itulah yang kemudian terpikir olehku.
Bagaimana bisa Kak.Gege, bisa ada di depan Apartementku, jika tidak menungguku?
Dan untuk apa dia menungguku?
Stop
Siska!
Jangan pikirkan itu hingga Adit tahu kalau yang lagi-lagi kau pikirkan Kak.Gege
bukan dia.
“No
problem, tidak usah memikirkannya hingga seperti itu juga. Aku tidak akan
marah.”goda Adit yang sadar kalau aku sedang memikirkan suatu hal. Namun bukan
tentang rasa bersalahku terhadapnya. Tapi rasa penasaranku dengan perasaanku terhadap Kak.Gege, dan Adit tidak
menyadari hal itu. Syukurlah, batinku.
Aku tersenyum dan dia membalasnya. Aku
dan Adit hanya berteman, namun aku takut membuatnya marah saat aku membicarakan
tentang Kak.Gege, entah mengapa? Meski aku dan Adit bukan sepasang kekasih
sehingga wajar untuk menjaga perasaan masing-masing, namun aku tetap kukuh
menjaga perasaan pria berambut coklat,
bermata biru, dan berkulit putih itu. Karena aku tahu kalau dia menyukaiku.
Awalnya memang sedikit canggung, namun aku berhasil mencairkan suasana itu,
sehingga lebih baik rasanya berteman dengannya, meski dia sudah menyatakan
perasaannya dan kutolak saat itu juga karena aku tidaklah menyukainya seperti
yang diungkapkannya. Bagiku, dia hanyalah seorang teman. Meski terdapat kata
hanya, namun dialah teman yang lebih penting daripada status seperti pacar atau
yang dulu dia katakan padaku. “Maukah kau jadi pacarku, belahan
jiwaku?”tanyanya kala itu.
Bukan Siska namanya, kalau percaya dan
menjalin hubungan yang menurutku sedikit menjijikkan itu. Ya, aku bersyukur dia
mau mengerti dengan karakterku yang tidak ingin berpacaran dan lebih memilih
berteman denganku, meski sempat terjadi kalang kabut interaksiku dengan dia
setelah dia mengungkapkan perasaannya.
So,
forget it, now!
“Sepertinya, sudah tidak ada bus
lagi.”ucap Adit memecah keheninganku dengannya.
“Hem. Ya. Maaf.”tuturku dengan kata maaf
lagi.
“Sudah. Jangan katakan maaf lagi.”
“Iyya, dehh. Itu sih karena kamu, tidak
pake motor lagi. Andai disini ada motor pasti kita udah berangkatkan?”balasku,
mengembalikkan alur pembicaraan ke statement
pertama.
“Itu karena akunya ingin naik bus pulang
pergi denganmu.”tuturnya membuatku kaget.
“Hah?”
“Tidak.”lirihnya. “Bagaimana kalau kita
jalan kaki ajah?”ajaknya yang mulai berlari.
“Tidak ada salahnya.”setujuku yang
kemudian ikut berlari.
***
Tiba-tiba percikan air hujan yang tergenang
di trotoar mengotori sweeter yang kukenakan. Aku marah kesal, dan berteriak,
“Kalau nyetir hati-hati dong! Jangan sampai merugikan pengguna jalan
lainnya.”teriakku dan mobil itu berhenti. Ampun deh ! Bagaimana jika mobil itu
milik pejabat dan kemudian melaporkanku karena berteriak tadi? Pikiran aneh itu
muncul dan membuatku takut, namun kutetap memperlihatkan wajah kesal, dan
berusaha kubuat sealami mungkin.
Seorang pria dengan seragam yang sama
dengan sekolahku membuka pintu mobilnya. Pria dengan rambut kemerah-merahan itu mempunyai mata
yang begitu mirip dengan ayahku, yang tidak beliau wariskan kepadaku maupun
Rico dan Ricky. Mata keabu-abuan atau apalah. Yang jelas mata itu begitu indah
sehingga berhasil menghentikan detak jantungku seketika saat berpapasan
denganku. Bukan karena kenyataan bahwa pria itu memanglah tampan dengan kulit
putih yang mulus, wajah bulat nan mungil, tubuh yang mungkin kekar yang tertupi
oleh sweeter volkadot perpaduan biru dan abu-abu itu, serta tubuh yang jakun
dan jejemari yang panjang saat dia mulai menyentuhku dengan maksud menolongku.
Bukan karena kesemua hal itu jantungku berhenti berdetak, namun karena matanya
yang mirip dengan mata ayahku yang meluluhkanku. Mata itu terakhir kali kulihat
saat ulang tahun Ricky yang pertama, dan setelah itu beliau pergi sebelum aku
melihatnya lagi. Mata bak sebuah selimut yang menghangatkan perasaanku.
“Anda tidak apa-apa?”suara serak yang
manis itu berhasil membuyarkan lamunanku akan sosok ayah, dan segera menghapus
genangan air di pelupuk mataku, berharap Adit dan pria itu tidak menyaksikan
airmata itu berusaha melompat dari mataku dan mendarat di pipiku.
“Hem, ya. Aku tidak apa-apa.”wajah
kesalku itu menghilang. Berpura-pura dengan sedemikian rupapun tak mampu
mengembalikannya. Ya, aku luluh hanya oleh mata itu.
“Maaf. Aku bukannya sengaja. Aku
tidak melihat genangan air itu.”tuturnya dengan begitu polosnya.
“Tidak apa-apa, kok. Hanya sweeterku
yang kotor. Atau dengan kata lain seragam sekolahku tidak apa-apa, jadi aku
masih bisa kesekolah.”ucapku lirih. Adit memerhatikan perubahan tingkah lakuku.
Kutahu bahwa dia mengerti.
“Dafa?”ucap Adit mengagetkanku.
Mereka saling kenal? Pikirku.
“Adit? Lama nggak jumpa? Gimana kabar
loe, bro?”balas pria itiu yang ternyata bernama Dafa. Nama yang kece pikirku.
“Cerita-ceritanya nanti ajah. Lebih
baik kau mengajak kami ke mobil loe.”balas Adit dengan akrabnya.
“Hem, ya. Maaf. Silahkan !”tuturnya menuntun
aku dan Adit menuju ke mobilnya. Adit duduk di samping job kemudi, dan aku
duduk di job belakang kemudi. Beberapa saat selang aku duduk, mobil pun
dikemudikan Dafa dengan lincahnya.
“Bersihkan dulu sweetermu !”perintah
Adit, sembari menoleh kearahku.
“Hem, ya.”
“Sebaiknya, simpan saja sweetermu
disitu. Aku akan mengembalikannya setelah aku bawa ke Laundri.”tutur Dafa
sembari memperlihatkan senyum maut bak senyum terbaiknya.
“Baik. Tapi aku merasa aneh, tidak
menggunakan sweeter.”ucapku blak-blakan.
“Kau seperti pengguna sweeter
maniak.”balas Dafa, dengan senyum yang bertambah manis lagi.
“Aku hanya tidak suka sinar matahari
saja. Itu membuatku merasa ingin meleleh. Karena itu aku tidak bisa pergi
keluar jika tidak menggunakan sweeter, sehingga sweeter sudah menjadi teman
sehari-hariku. Aneh yah?”balasku sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tak
gatal.
“Meleleh? Maksudmu berkeringat?”balas
Dafa yang sesekali menengok kespion dan melihatku dari sana.
“Hem, seperti itu.”
“Sekarang kau betul berkeringat. Apa
karena kau melepas sweetermu?”tanya Dafa penasaran. Bukan karena aku membuka
sweeterku. Namun, sepertinya kau bagai matahari untukku. Kau membuatku meleleh,
entah bagaimana itu terjadi? Batinku.
“Benarkah?”ucapku menyeka keringat.
“Haruskah kunyalakan AC nya?”tanya
Dafa yang tiba-tiba khawatir.
“Tidak perlu.”tukasku.
“Kalau begitu, kau bisa menggunakan
ini selama sweetermu ada denganku.”tuturnya, melepas sweeter yang ia kenakan.
Beruntunglah sweeter itu unisex, jadi cocok untuk kugunakan juga.
“Aku punya banyak sweeter di rumah,
jadi meskipun sweeterku ini ada denganmu tidak apa-apa kok.”
“Itukan di rumah. Matahari sedang
panas-panasnya tuhh. Kau tidak ingin meleleh sempurnakan hari ini?”candanya,
sembari memberi sweeter miliknya kepadaku dan aku menerimanya. Terlihat Adit
hanya diam menyaksikan gaya bicaraku dan Dafa yang semakin akrab, entah apa
yang sedang dipikirkannya?
“Terima kasih.”balasku, dan Dafa
tersenyum. Dia tidak lagi memerhatikanku, melainkan Adit yang sedari tadi diam.
“Jika pacar loe anti terhadap sinar
matahari, seharusnya loe tiap hari pake sweeter.”canda Dafa, yang disusul oleh
gelak tawanya sendiri, dan Adit tersenyum.
“Aku Cuma..”
“Cuma apa?”potong Dafa terhadap
ucapan Adit sebelumnya. Mungkinkah Adit ingin bilang kalau aku dan dia bukanlah
pacar seperti yang di katakan Dafa?
“Aku dan Adit tidak pacaran. Kami
hanya teman.”ucapku spontan, Adit mengiyakan, dan Dafa hanya terpaku.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15,
dan tentunya aku dan Adit telah benar-benar terlambat. Bahkan sekarang
siswa-siswi telah mengikuti jam kedua. Namun, lain lagi untuk Dafa. Karena dia
siswa baru, dia hanya mendapat tolenransi untuk tidak terlambat lagi, dan tidak
bergaul dengan siswi sepertiku. Kenapa coba, nasibku hari ini apes banget?
“Siapa suruh kalian memasuki
kelasku?”tanya Pak Rasid, guru yang dikenal dengan ketegasan dan aturannya. Aku
lupa kalau dialah yang akan mengisi jam pelajaran pertama dan kedua. Andai aku
ingat, pasti aku akan menjadi orang pertama yang hadir pagi ini. Ya, aku setuju
dengan pepatah yang mengatakan bahwa, penyelasan selalu datang diakhir. Seperti
halnya dengan kondisiku sekarang.
“Maaf, Pak. Saya siswa baru
disini.”jawab Dafa. Sebelum ke kelas, kami ke ruang guru untuk menanyakan
dimana Dafa di tempatkan, dan ternyata Dafa di tempatkan di kelas XI.B, kelasku
dan Adit. Apakah ini memang takdir?
Siska,
siska. Cukup Kak.Gege dan Adit saja yang memberontak dalam kehidupanmu, tak
usahlah kau berharap Dafa juga ada untukmu. Okay, kembali ke narasi.
“Oh, ya. Kamu boleh masuk dan berdiri untuk
memperkenalkan diri. Sedang kalian berdua?”tutur Pak Rasid melirik ke arahku
dan Adit.
“Aku tadi menuntun Dafa, Pak. Dia
adalah teman kecilku, dan belum tahu daerah sini.”ucap Adit memberi alasan dan
Dafa mengiyakan. Terus bagaimana denganku? Alasan yang sama tidak mungkin
mempan untuk Pak Rasid, dan Adit hanya melirik ke arahku menyuruhku membuat
alasan, namun pikiranku blank alias kosong. Aku tidak bisa memikirkan hal yang
wajar sekalipun. Meminta Dafa menyelamatkankupun serasa tidak mungkin. Karena
aku memang nyatanya bukan apa-apa untuknya, dan dia bahkan tidak mengetahui
namaku. Aku hanya perlu bersiap untuk menerima hukuman apapun, dan kuharap
hukuman itu bukanlah berdiri di lapangan, yang sedang asyik-asyik dibakar oleh
sang mentari saat ini. Kuharap.
“Baiklah, kau boleh duduk ! Sedangkan
kamu?”ucapnya kepadaku. Hanya kepadaku yang sedang mematung di depan pintu
menyaksikan puluhan mata menatap ke arahku. Tidak ada lagi yang kuharap
menolongku, kecuali Tuhan. Kumohon luluhkan hati Pak Rasid agar dia tidak
menghukumku untuk berdiri di Lapangan. Hanya itu harapanku.
“Maaf, Pak. Aku yang menyuruhnya
datang menjemputku, jadi dia terlambat karena itu.” suara itu tiba-tiba
memberikan pengharapan untukku, dan itu adalah suara Dafa. Apa yang akan
dilakukannya? Kuyakin dia hanya akan membuang waktunya.
“Maksudmu?”tutur Pak Rasid penasaran.
“Maksudku, aku tak pernah terpikir
kalau Adit sekolah disini. Yang kutahu hanya Ikka sekolah disini. Sehingga aku
menyuruhnya menjemputku ke rumahku, dan ternyata Pak Kepsek sudah mengutus Adit
untuk menemaniku. Jelas, Ikka terlambat karena aku.”Dafa menunduk bersalah, aku
kagum atas keberaniannya menolongku. Namun, sungguh kesalahan saat dia
mengucapkan namaku dengan kata Ikka. Nama siapa itu? -____-*
“Ikka? Bukankah namanya Siska?”tutur
sinis Pak Rasid. Kulihat keringat dinging mulai bercucuran di kening Dafa,
namun sikapnya masih tampak biasa-biasa. Aku penasaran bagaimana dia bisa
menjawab statement itu.
“Maaf, Pak. Aku sedikit keterlaluan.
Ikka itu panggilang sayangku untuknya. Iyya, namanya Siska Michela.”perkataan
Dafa yang ini, berhasil membuat semua anak-anak dalam ruangan itu tersenyum
sinis, mengejek, berbisik, atau apalah. Aku juga tidak peduli, aku tahu itu
hanya cara dia menolongku, dan kuharap aku tidak berharap lebih bari itu.
“Siska itu kekasihmu?”tanya salah
seorang siswi yang terdepan.
“Hem, seperti itulah.”ucap Dafa
tersenyum, dan kali ini Aditpun tersenyum. Entah apa yang terjadi dengan keduanya.
Apakah ini sebuah rencana untuk mempermalukanku? Atau memang untuk
menyelamatkanku. Namun wajahku tiba-tiba memerah dan sulit untuk
menyembunyikannya. Hingga semua orang melihatku dan tertawa, tak ketinggalan
Dafa juga tersenyum disana. Sekarang semua orang akan menganggap aku dan Dafa
jadian. Ouwhh tidak. Bagaimana bila berita ini sampai ke telinga Kak.Gege? Entah
mengapa nama itu baru muncul lagi di otakku setelah beribu nama Dafa tertulis
dalam kurang dari satu jam terakhir.
Cahaya matahari yang menembusku sedari tadi di depan pintu
membuatku lemes, aku kemudian merasa semua orang lenyap di hadapanku. Semuanya
pudar. Tidak lagi. Semuanya hanya gelap. Kurasakan keringat yang jatuh dari
pelipisku. Keringat yang awalnya hanya beberapa, kemudian terasa bak melaut.
Apakah aku dehidrasi? Kata itu tak pernah terucap selama bertahun-tahun, entah
sejak kapan? Entah sejak kapan aku tidak pernah merasa selemes ini, namun
sekarang aku merasakannya dua kali lipat. Ya. Sekarang aku berada di
tengah-tenga dua matahari yang bagai siap melenyapkanku. Pertama, matahari yang
berhasil menembus sweeter ini, yang bagai bersahabat dengan sweeter yang kugunakan
saat ini. Kedua, matahari yang sedari tadi tersenyum di hadapanku, namun
sekarang lenyap. Tak ada lagi yang nampak. Semuanya tinggal halusinasiku, yang
berkata, “Kau harus menjauhi mataharimu
itu.” yang disusul dengan keheningan sempurna. Aku tak tahu lagi.
(17/04/2014/TULIPUNGU)
No comments:
Post a Comment