Friday, 3 October 2014

CERPEN : DUA MATAHARI



         https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqVxyX2f6-QppDQF-QOXSXLs9bYny-GtqAYLVxHcWJ6dkWWg4O-uKgmLl9cibUFERCj37nYGI-U4TEuta88NNZXuVzhajHXZNDMtqGjALOVkt1lPtlUt5PAqYMERKdy8wuKDJRXBz0AHHB/s1600/109252_ilustrasi-pepohonan-berwarna-hitam-di-planet-dengan-dua-matahari-_300_225.jpg
   “Waktunya bangun. Waktunya bangun.”suara semringah dari burung beo di dalam apartementku membuatku terbangun dari mimpiku yang aneh. Kulihat jendela dengar tirai yang sedikit terbuka, dengan sinar mentari yang berusaha masuk kecela-celanya. Kuberanjak bangun dari tempat tidurku, kemudian membuka tirai itu lebar-lebar, dan membiarkan sinar mentari itu menyinari ruang apartementku yang gelap. Sinar mentari pagi yang terlihat begitu indah, dan terasa begitu nyaman. Mungkin akibat hujan semalam yang cukup deras, berhasil membersihkan lapisan bumi dan sinar itu dari polusi udara dari kota metropolitanku. Kutersenyum simpul, saat melihat Adit, sahabatku mengayunkan tangan di tempat perhentian bus menuju kearahku.
           “Cepatlah !”bentuk bibirnya yang seperti mengucapkan kata itu, membuatku berlari mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi dengan sesegera mungkin.
***
           “Cepatlah sebelum kau terlambat !”tegur mama, saat aku menuju meja makan untuk mengambil sepotong roti yang siap untuk kulahap. Wajahnya mencerminkan keraguan, entah apa? Namun kuyakin, itulah keraguan dan kekhawatiran seorang ibu. Tentunya untukku, satu-satunya anak perempuannya. Namun apa?
           “Hemm, ya.”balasku tersenyum simpul. Kuperhatikan kedua adikku, Rico dan Ricky yang dengan polosnya melahap rotinya tanpa memedulikan selai yang memenuhi tangan, hingga wajahnya. Kuambil sehelai tisu, dan membantunya membersihkannya. “Kalau makan, nggak boleh belepotan seperti ini ! Kalian tampak jorok. Iiiyyyuuu..”tegurku lirih sambil memperlihatkan wajah jijik yang kusengaja agar kedua anak yang masih berumur 6 dan 5 tahun itu mengerti maksudku.
           “Kakak sendili, belepotan. Iyyuuuu.”ucap sibungsu Ricky, sambil menunjuk pipi kirinya dengan jijik, mengikuti apa yang kukatakan sebelumnya.
           “Hem?”tuturku, sembari dengan segera menuju kedepan cermin dalam kamarku, dan kemudian diikuti gelak tawa ibu dan kedua adikku. Kulihat pipi kananku yang sidikit belepotan seperti wajah Ricky karena selai. Namun beda denganku, yang belepotan itu bukan selai melainkan liplos, yang tadi kugunakan dengan tergesa-gesa. Wajahkupun memerah karena malu. Tak sanggup lagi kumunculkan muka dihadapan ibu dan kedua adikku itu. Mungkin ini maksud dari wajah keraguan ibuku. Aisshh, mereka menyebalkan, batinku. Dengan segera kuambil tisu basah dimeja, kemudian membersihkan liplos belepotan itu dari wajahku yang tengah membuatku malu berat. Lalu, kerapikan bedakku yang sidikit rusak. Setelah itu, kukumpulkan mentalku untuk kembali keluar dari kamarku.
           Tampak datar. Itulah tatapan mereka saat aku melangkahkan kaki keluar dari kamarku. Tatapan yang lebih kubenci dibandingkan dengan ejekan yang sudah siap kuterima. Itulah mereka. Mereka selalu membuatku malu, dan membuatku tak sanggup lagi untuk berdiri di depan mereka. Namun, mungkin bagi mereka tidak seperti itu. Mereka menyayangiku, dan merekalah harta yang satu-satunya kupunya. Satu paket cinta. Seperti itulah peran mereka dalam hidupku. Meski ayahku sudah tiada diantaranya, namun beliau juga termasuk dalam satu paket cintaku.
Tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutku, kuberjalan keluar, dan setelah tiba di depan pintu, kuberteriak “Aku berangkat.” Terdengar balasan ibuku yang mengatakan, “Hati-hati di jalan.” yang kemudian membuatku tersenyum. Kumelangkahkan kaki sembari melipat tanganku dan memohon, “Hari ini dimulai dengan sedikit memalukan, namun kuharap tidak berlanjut dikemudiannya.” Batinku yang kemudian diamini oleh seseorang yang tiba-tiba mengagetkanku dari belakang.
“Kakak.”ucapku spontan, dan dia hanya tersenyum mengikuti langkah kakiku yang belum terhenti semenjak keluar dari apartementku tadi. “Apanya yang amin?”tanyaku. Mana mungkin dia mendengar kata batinku? Pikirku.
“Do’a mu tadi.”balasnya tersenyum. Mungkin dia melihat aku melipat tanganku tadi, dan dia menebak-nebak kalau aku sedang memohon suatu hal. Batinku, lega.
“Ouwhh, itu. Emangnya, kakak tahu apa?”candaku dengan sinis, tanpa menghentikan langkahku yang dipercepat, kemudian membalikkan badanku berjalan mundur melihatnya berjalan mengikutiku.
“HARI INI DIMULAI DENGAN SEDIKIT MEMALUKAN, NAMUN KUHARAP TIDAK BERLANJUT DIKEMUDIANNYA.”teriaknya mengagetkanku, yang kemudian berlari menutup mulutnya, namun semua kata batinku telah diucap olehnya, sebelum aku berhasil menutup mulutnya.
Matanya menatap mataku lebih dalam, dan membuatku jantungku mulai berdegup. Ada apa ini? Batinku, yang kemudian melepaskan tanganku yang menggantung di mulutnya. Memalukan. Batinku yang kemudian disambut oleh gelak tawanya. Lagi-lagi, dan untuk kedua kalinya aku ditertawakan. Pikirku, dan memulai untuk berbicara.
“Darimana kakak tahu?”cibirku.
“Siska. Apa yang tidak aku tahu tentangmu?”bangganya.
“Tapi, yang tadi itu, persis sama dengan kata batinku. Aku bahkan tidak pernah mengucapkannya. Lalu
“Lalu aku tahu secara mendetail. Begitu?”potongnya, kemudian melanjutkan langkah kakinya yang tadi tertunda olehku. Sekarang laju jalannya mulai dipercepat 2 kali lipat, apalagi suasana tangga yang panjang sesuai dengan kondisi, dimana dia berusaha menghindar dariku. Dugaku.
“Kakak tunggu. Jawab dulu akunya, bagaimana kakak tahu?”teriakku, berlari untuk menyeimbangkan langkah kakinya yang panjang, sesuai dengan bentuk kakinya yang terbilang jakun itu.
Dia berbalik melihatku yang masih berdiri kokoh di anak tangga teratas, kemudian tersenyum dengan begitu tampannya. “Kalau kau bisa mengejar dan menangkapku, aku akan memberitahumu secara mendetail pula.”teriaknya, yang kemudian berlari, dan menghilang dari tatapanku dengan segera. Itu memang hobbinya. Datang disaat otak lagi direfresh-refreshnya, kemudian pergi dengan satu virus yang mengganggu lajunya pemikiranku dan sering menyebabkan hang, bak virus komputer.
“Astaga Adit.”ucapku seketika, saat aku teringat dengan dia yang menungguku ditempat perhentian bus sedari tadi. Kulihat jam putih dengan motif salju yang melingkar di tanganku, dan telah menunjukkan pukul 07.45. Sudah sangat terlambat dari jam masuk sebenarnya, yakni pukul 07.15. Kuberlari dengan terbirit-birit, sembari membayanagkan wajah kesal dan marahnya. Sama seperti saat aku membolos tanpa memberitahunya dengan kencan bersama Kak.Gege, kakak yang tadi membuatku kesal setengah mati di sebuah kincir angin raksasa. Sebenarnya bukan kencan, hanya aku yang menganggapnya seperti itu, atau tidak demikian bagi Kak.Gege.
Kembali tentang Adit.
Adit sangat benci kalau aku membolos. Katanya, aku menyianyiakan amanah ibuku yang berharap aku sekolah dengan baik. Apalagi dengan Kak.Gege, entah mengapa Adit sangat tidak suka bila aku dekat dengan Kak.Gege. Katanya, Kak.Gege itu playboy dan tidak cocok denganku. Meski aku setuju dengan alasan marah Adit karena aku membolos dan mengatakan maaf kepadanya untuk itu, aku tidak setuju saat dia bilang kalau Kak.Gege itu playboy dan tidak cocok denganku. Karena dia sama sekali tidak mengenal Kak.Gege, lebih dari yang aku kenal. Sebab aku mengenal Kak.Gege, jauuuhhh lebih lama dari yang Adit kenal, sehingga aku membentaknya waktu itu.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang Kak.Gege, jadi kau juga tidak punya hak mengatakan itu.”bentakku, kala itu.
“Memang benar, aku tidak mengenalnya. Tapi aku mengenalmu, dan itu sudah cukup untuk membuatku marah, saat kau dekat dengannya. Namun, kau malah membentakku. So, itu terserah denganmu! Aku tidak akan peduli lagi.”mulai saat itu, selama hampir satu bulan dia tidak pernah memedulikanku. Aku pikir itu mudah, namun karena aku dan dia satu kelas, bahkan sebangku, itu sedikit sulit untuk tidak menyapanya setiap pagi, untuk tidak bercerita dengannya tentang kelucuan Rico-Ricky, untuk bertanya akan kesulitanku terhadap Mapel tertentu, ataupun untuk curhat dengannya tentang cinta pertamaku, Kak.Gege. Sehingga aku memutuskan untuk minta maaf kepadanya. Namun jangan salah, proses permintaan maafku padanya, berjalan hampir selama aku tidak pernah berbicara dengannya, dan sangat sulit tentunya. Saking, sulitnya meredakan emosinya saat dia marah, aku harap hari ini tidak seperti halnya waktu itu. Aku malah lebih berharap dia ke sekolah mendahuluiku atau meninggalkanku, daripada dia menungguku dan marah. Bayanganku tentang kemarahannya membuatku mempercepat laju langkahku, hingga tepat sekarang aku berdiri di sisi lain dari tempat perhentian bus. Tampak dia sedang berbicara dengan seseorang di balik telepon genggamnya. Dengan siapa? Batinku.
“Siska?”tanyanya dengan seseorang di balik telepon genggamnya itu.
“Bukan. Ini ibunya Siska. Dia melupakan Handphonenya. Ada apa ya?”
“Tidak, tante. Cuma mau nanya Siska dimana?”
“Ouwhh, gitu. Dia sudah berangkat sekitar setengah jam yang lalu. Mungkin dia sudah ada diperjalanan. Ditunggu saja, ya ! Siska memang orang yang lelet. Maaf !”
“Tidak apa-apa, tante. Iyya, saya masih kuat menunggu, kok. Terima kasih tante.”
“Yapp, sama-sama.”
Kutatap wajah khawatirnya, yang kemudian berpapasan dengan wajahku. Kupikir dia bersiap untuk mengomeliku. Namun, dia tersenyum dengan begitu manisnya. Kubalas senyumnya, dan menghampirinya. “Maaf. Aku melupakan handphoneku.”kupikir aku harus mengatakan itu, apalagi setelah dia menelponku dan yang mengangkatnya adalah mamaku.
It’s okay for that. But, kau harus menjelaskan mengapa kau bisa menuruni tangga apartementmu selama itu? Tidak mungkinkan, tangganya bertambah banyak?”candanya sinis.
“Tadi aku bertemu dengan penghuni baru apartement di lantai 2, dan dia menyapaku, sehingga aku menghabiskan banyak waktu untuk sekedar bercengkrama dengannya. Karena itu, I have to say sorry for you. I’m so sorry.”bohongku dengan rasa bersalah yang terasa berat. Tak mungkin aku bilang kalau aku terlambat karena berpapasan dengan Kak.Gege di depan Apartementku, dimana mungkin Kak.Gege sengaja menungguku. Sengaja menungguku. Itulah yang kemudian terpikir olehku. Bagaimana bisa Kak.Gege, bisa ada di depan Apartementku, jika tidak menungguku? Dan untuk apa dia menungguku?
Stop Siska! Jangan pikirkan itu hingga Adit tahu kalau yang lagi-lagi kau pikirkan Kak.Gege bukan dia.
No problem, tidak usah memikirkannya hingga seperti itu juga. Aku tidak akan marah.”goda Adit yang sadar kalau aku sedang memikirkan suatu hal. Namun bukan tentang rasa bersalahku terhadapnya. Tapi rasa penasaranku dengan perasaanku terhadap Kak.Gege, dan Adit tidak menyadari hal itu. Syukurlah, batinku.
Aku tersenyum dan dia membalasnya. Aku dan Adit hanya berteman, namun aku takut membuatnya marah saat aku membicarakan tentang Kak.Gege, entah mengapa? Meski aku dan Adit bukan sepasang kekasih sehingga wajar untuk menjaga perasaan masing-masing, namun aku tetap kukuh menjaga perasaan pria berambut coklat, bermata biru, dan berkulit putih itu. Karena aku tahu kalau dia menyukaiku. Awalnya memang sedikit canggung, namun aku berhasil mencairkan suasana itu, sehingga lebih baik rasanya berteman dengannya, meski dia sudah menyatakan perasaannya dan kutolak saat itu juga karena aku tidaklah menyukainya seperti yang diungkapkannya. Bagiku, dia hanyalah seorang teman. Meski terdapat kata hanya, namun dialah teman yang lebih penting daripada status seperti pacar atau yang dulu dia katakan padaku. “Maukah kau jadi pacarku, belahan jiwaku?”tanyanya kala itu.
Bukan Siska namanya, kalau percaya dan menjalin hubungan yang menurutku sedikit menjijikkan itu. Ya, aku bersyukur dia mau mengerti dengan karakterku yang tidak ingin berpacaran dan lebih memilih berteman denganku, meski sempat terjadi kalang kabut interaksiku dengan dia setelah dia mengungkapkan perasaannya.
So, forget it, now!
“Sepertinya, sudah tidak ada bus lagi.”ucap Adit memecah keheninganku dengannya.
“Hem. Ya. Maaf.”tuturku dengan kata maaf lagi.
“Sudah. Jangan katakan maaf lagi.”
“Iyya, dehh. Itu sih karena kamu, tidak pake motor lagi. Andai disini ada motor pasti kita udah berangkatkan?”balasku, mengembalikkan alur pembicaraan ke statement pertama.
“Itu karena akunya ingin naik bus pulang pergi denganmu.”tuturnya membuatku kaget.
“Hah?”
“Tidak.”lirihnya. “Bagaimana kalau kita jalan kaki ajah?”ajaknya yang mulai berlari.
“Tidak ada salahnya.”setujuku yang kemudian ikut berlari.
***
           Tiba-tiba percikan air hujan yang tergenang di trotoar mengotori sweeter yang kukenakan. Aku marah kesal, dan berteriak, “Kalau nyetir hati-hati dong! Jangan sampai merugikan pengguna jalan lainnya.”teriakku dan mobil itu berhenti. Ampun deh ! Bagaimana jika mobil itu milik pejabat dan kemudian melaporkanku karena berteriak tadi? Pikiran aneh itu muncul dan membuatku takut, namun kutetap memperlihatkan wajah kesal, dan berusaha kubuat sealami mungkin.
           Seorang pria dengan seragam yang sama dengan sekolahku membuka pintu mobilnya. Pria dengan  rambut kemerah-merahan itu mempunyai mata yang begitu mirip dengan ayahku, yang tidak beliau wariskan kepadaku maupun Rico dan Ricky. Mata keabu-abuan atau apalah. Yang jelas mata itu begitu indah sehingga berhasil menghentikan detak jantungku seketika saat berpapasan denganku. Bukan karena kenyataan bahwa pria itu memanglah tampan dengan kulit putih yang mulus, wajah bulat nan mungil, tubuh yang mungkin kekar yang tertupi oleh sweeter volkadot perpaduan biru dan abu-abu itu, serta tubuh yang jakun dan jejemari yang panjang saat dia mulai menyentuhku dengan maksud menolongku. Bukan karena kesemua hal itu jantungku berhenti berdetak, namun karena matanya yang mirip dengan mata ayahku yang meluluhkanku. Mata itu terakhir kali kulihat saat ulang tahun Ricky yang pertama, dan setelah itu beliau pergi sebelum aku melihatnya lagi. Mata bak sebuah selimut yang menghangatkan perasaanku.
           “Anda tidak apa-apa?”suara serak yang manis itu berhasil membuyarkan lamunanku akan sosok ayah, dan segera menghapus genangan air di pelupuk mataku, berharap Adit dan pria itu tidak menyaksikan airmata itu berusaha melompat dari mataku dan mendarat di pipiku.
           “Hem, ya. Aku tidak apa-apa.”wajah kesalku itu menghilang. Berpura-pura dengan sedemikian rupapun tak mampu mengembalikannya. Ya, aku luluh hanya oleh mata itu.
           “Maaf. Aku bukannya sengaja. Aku tidak melihat genangan air itu.”tuturnya dengan begitu polosnya.
           “Tidak apa-apa, kok. Hanya sweeterku yang kotor. Atau dengan kata lain seragam sekolahku tidak apa-apa, jadi aku masih bisa kesekolah.”ucapku lirih. Adit memerhatikan perubahan tingkah lakuku. Kutahu bahwa dia mengerti.
           “Dafa?”ucap Adit mengagetkanku. Mereka saling kenal? Pikirku.
           “Adit? Lama nggak jumpa? Gimana kabar loe, bro?”balas pria itiu yang ternyata bernama Dafa. Nama yang kece pikirku.
           “Cerita-ceritanya nanti ajah. Lebih baik kau mengajak kami ke mobil loe.”balas Adit dengan akrabnya.
           “Hem, ya. Maaf. Silahkan !”tuturnya menuntun aku dan Adit menuju ke mobilnya. Adit duduk di samping job kemudi, dan aku duduk di job belakang kemudi. Beberapa saat selang aku duduk, mobil pun dikemudikan Dafa dengan lincahnya.
           “Bersihkan dulu sweetermu !”perintah Adit, sembari menoleh kearahku.
           “Hem, ya.”
           “Sebaiknya, simpan saja sweetermu disitu. Aku akan mengembalikannya setelah aku bawa ke Laundri.”tutur Dafa sembari memperlihatkan senyum maut bak senyum terbaiknya.
           “Baik. Tapi aku merasa aneh, tidak menggunakan sweeter.”ucapku blak-blakan.
           “Kau seperti pengguna sweeter maniak.”balas Dafa, dengan senyum yang bertambah manis lagi.
           “Aku hanya tidak suka sinar matahari saja. Itu membuatku merasa ingin meleleh. Karena itu aku tidak bisa pergi keluar jika tidak menggunakan sweeter, sehingga sweeter sudah menjadi teman sehari-hariku. Aneh yah?”balasku sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.
           “Meleleh? Maksudmu berkeringat?”balas Dafa yang sesekali menengok kespion dan melihatku dari sana.
           “Hem, seperti itu.”
           “Sekarang kau betul berkeringat. Apa karena kau melepas sweetermu?”tanya Dafa penasaran. Bukan karena aku membuka sweeterku. Namun, sepertinya kau bagai matahari untukku. Kau membuatku meleleh, entah bagaimana itu terjadi? Batinku.
           “Benarkah?”ucapku menyeka keringat.
           “Haruskah kunyalakan AC nya?”tanya Dafa yang tiba-tiba khawatir.
           “Tidak perlu.”tukasku.
           “Kalau begitu, kau bisa menggunakan ini selama sweetermu ada denganku.”tuturnya, melepas sweeter yang ia kenakan. Beruntunglah sweeter itu unisex, jadi cocok untuk kugunakan juga.
           “Aku punya banyak sweeter di rumah, jadi meskipun sweeterku ini ada denganmu tidak apa-apa kok.”
           “Itukan di rumah. Matahari sedang panas-panasnya tuhh. Kau tidak ingin meleleh sempurnakan hari ini?”candanya, sembari memberi sweeter miliknya kepadaku dan aku menerimanya. Terlihat Adit hanya diam menyaksikan gaya bicaraku dan Dafa yang semakin akrab, entah apa yang sedang dipikirkannya?
           “Terima kasih.”balasku, dan Dafa tersenyum. Dia tidak lagi memerhatikanku, melainkan Adit yang sedari tadi diam.
           “Jika pacar loe anti terhadap sinar matahari, seharusnya loe tiap hari pake sweeter.”canda Dafa, yang disusul oleh gelak tawanya sendiri, dan Adit tersenyum.
           “Aku Cuma..”
           “Cuma apa?”potong Dafa terhadap ucapan Adit sebelumnya. Mungkinkah Adit ingin bilang kalau aku dan dia bukanlah pacar seperti yang di katakan Dafa?
           “Aku dan Adit tidak pacaran. Kami hanya teman.”ucapku spontan, Adit mengiyakan, dan Dafa hanya terpaku.
***
           Jam sudah menunjukkan pukul 08.15, dan tentunya aku dan Adit telah benar-benar terlambat. Bahkan sekarang siswa-siswi telah mengikuti jam kedua. Namun, lain lagi untuk Dafa. Karena dia siswa baru, dia hanya mendapat tolenransi untuk tidak terlambat lagi, dan tidak bergaul dengan siswi sepertiku. Kenapa coba, nasibku hari ini apes banget?
           “Siapa suruh kalian memasuki kelasku?”tanya Pak Rasid, guru yang dikenal dengan ketegasan dan aturannya. Aku lupa kalau dialah yang akan mengisi jam pelajaran pertama dan kedua. Andai aku ingat, pasti aku akan menjadi orang pertama yang hadir pagi ini. Ya, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa, penyelasan selalu datang diakhir. Seperti halnya dengan kondisiku sekarang.
           “Maaf, Pak. Saya siswa baru disini.”jawab Dafa. Sebelum ke kelas, kami ke ruang guru untuk menanyakan dimana Dafa di tempatkan, dan ternyata Dafa di tempatkan di kelas XI.B, kelasku dan Adit. Apakah ini memang takdir?
           Siska, siska. Cukup Kak.Gege dan Adit saja yang memberontak dalam kehidupanmu, tak usahlah kau berharap Dafa juga ada untukmu. Okay, kembali ke narasi.
           “Oh, ya. Kamu boleh masuk dan berdiri untuk memperkenalkan diri. Sedang kalian berdua?”tutur Pak Rasid melirik ke arahku dan Adit.
           “Aku tadi menuntun Dafa, Pak. Dia adalah teman kecilku, dan belum tahu daerah sini.”ucap Adit memberi alasan dan Dafa mengiyakan. Terus bagaimana denganku? Alasan yang sama tidak mungkin mempan untuk Pak Rasid, dan Adit hanya melirik ke arahku menyuruhku membuat alasan, namun pikiranku blank alias kosong. Aku tidak bisa memikirkan hal yang wajar sekalipun. Meminta Dafa menyelamatkankupun serasa tidak mungkin. Karena aku memang nyatanya bukan apa-apa untuknya, dan dia bahkan tidak mengetahui namaku. Aku hanya perlu bersiap untuk menerima hukuman apapun, dan kuharap hukuman itu bukanlah berdiri di lapangan, yang sedang asyik-asyik dibakar oleh sang mentari saat ini. Kuharap.
           “Baiklah, kau boleh duduk ! Sedangkan kamu?”ucapnya kepadaku. Hanya kepadaku yang sedang mematung di depan pintu menyaksikan puluhan mata menatap ke arahku. Tidak ada lagi yang kuharap menolongku, kecuali Tuhan. Kumohon luluhkan hati Pak Rasid agar dia tidak menghukumku untuk berdiri di Lapangan. Hanya itu harapanku.
           “Maaf, Pak. Aku yang menyuruhnya datang menjemputku, jadi dia terlambat karena itu.” suara itu tiba-tiba memberikan pengharapan untukku, dan itu adalah suara Dafa. Apa yang akan dilakukannya? Kuyakin dia hanya akan membuang waktunya.
           “Maksudmu?”tutur Pak Rasid penasaran.
           “Maksudku, aku tak pernah terpikir kalau Adit sekolah disini. Yang kutahu hanya Ikka sekolah disini. Sehingga aku menyuruhnya menjemputku ke rumahku, dan ternyata Pak Kepsek sudah mengutus Adit untuk menemaniku. Jelas, Ikka terlambat karena aku.”Dafa menunduk bersalah, aku kagum atas keberaniannya menolongku. Namun, sungguh kesalahan saat dia mengucapkan namaku dengan kata Ikka. Nama siapa itu? -____-*
           “Ikka? Bukankah namanya Siska?”tutur sinis Pak Rasid. Kulihat keringat dinging mulai bercucuran di kening Dafa, namun sikapnya masih tampak biasa-biasa. Aku penasaran bagaimana dia bisa menjawab statement itu.
           “Maaf, Pak. Aku sedikit keterlaluan. Ikka itu panggilang sayangku untuknya. Iyya, namanya Siska Michela.”perkataan Dafa yang ini, berhasil membuat semua anak-anak dalam ruangan itu tersenyum sinis, mengejek, berbisik, atau apalah. Aku juga tidak peduli, aku tahu itu hanya cara dia menolongku, dan kuharap aku tidak berharap lebih bari itu.
           “Siska itu kekasihmu?”tanya salah seorang siswi yang terdepan.
           “Hem, seperti itulah.”ucap Dafa tersenyum, dan kali ini Aditpun tersenyum. Entah apa yang terjadi dengan keduanya. Apakah ini sebuah rencana untuk mempermalukanku? Atau memang untuk menyelamatkanku. Namun wajahku tiba-tiba memerah dan sulit untuk menyembunyikannya. Hingga semua orang melihatku dan tertawa, tak ketinggalan Dafa juga tersenyum disana. Sekarang semua orang akan menganggap aku dan Dafa jadian. Ouwhh tidak. Bagaimana bila berita ini sampai ke telinga Kak.Gege? Entah mengapa nama itu baru muncul lagi di otakku setelah beribu nama Dafa tertulis dalam kurang dari satu jam terakhir.
Cahaya matahari yang menembusku sedari tadi di depan pintu membuatku lemes, aku kemudian merasa semua orang lenyap di hadapanku. Semuanya pudar. Tidak lagi. Semuanya hanya gelap. Kurasakan keringat yang jatuh dari pelipisku. Keringat yang awalnya hanya beberapa, kemudian terasa bak melaut. Apakah aku dehidrasi? Kata itu tak pernah terucap selama bertahun-tahun, entah sejak kapan? Entah sejak kapan aku tidak pernah merasa selemes ini, namun sekarang aku merasakannya dua kali lipat. Ya. Sekarang aku berada di tengah-tenga dua matahari yang bagai siap melenyapkanku. Pertama, matahari yang berhasil menembus sweeter ini, yang bagai bersahabat dengan sweeter yang kugunakan saat ini. Kedua, matahari yang sedari tadi tersenyum di hadapanku, namun sekarang lenyap. Tak ada lagi yang nampak. Semuanya tinggal halusinasiku, yang berkata, “Kau harus menjauhi mataharimu itu.” yang disusul dengan keheningan sempurna. Aku tak tahu lagi.
(17/04/2014/TULIPUNGU)

No comments:

Post a Comment