Thursday, 9 October 2014

Puisi : Benang Yang Kurajut



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy7E0-YNDM7ZvAWkM8Xao24hkdgTw1qsnYLYQtMakf39JHUhzskuKFbgLiYdtyzZtbywN3sbpwwCQFhySqeEkL7P1s-2qfAmzx2aFKVCiIjxHakH083bme11X5CjiaMVjH7OsuIAAPvHY/s1600/Terharu.jpg 
Bukankah hidup itu tetang siklus?
Seharusnya aku tahu.
Karena itu adalah prinsipku.
Seharusnya aku mengerti.
Karena itu adalah jalan hidupku.
Tapi, sekarang aku termenung.
Tampak bodoh.

Setelah aku bertambah tua.
Hari-hariku berjalan.
Atau saat kupikir diriku mulai dewasa.
Yang kuukir mulai berubah.
Detik ini, lagi.
Prinsip itu telah kurobohkan.
Dan aku tak bisa berhenti.

Senyuman itu.
Kupikir masih terpasang, diwajah penipu ini.
Merah merona.
Kupikir tetap terkutip diatas kulit wajah ini.
Tapi, SAYANG.
Semuanya terhanyut, oleh setetes air mata.
Hingga akhirnya, bendungan yang kubangun dulu roboh.
Oleh arus yang tak bisa kukendalikan.

Kutahu, meski kuingin.
Aku tak bisa mengubah sejarah.
Aku tak bisa mengubah masa penuh luka itu.
Saat ketakutanku akan sosok yang memiliki wajah itu, tumbuh.
Saat kubawa diriku, masuk dalam tumpukan buku-buku kusut.
Atau saat kubuat diriku, terjun dalam otak-otak jenius.
Mengubah kepolosan jadi penipu.

Kutahu, walau kutak bisa.
Menyembunyikan pedih itu dibalik senyuman.
Membuat diriku kokoh, sebagai boneka.
Mengucap salam, bertutur sapa, mengukir senyum.
Yang akhirnya mereka hanyut.
Dan aku akan tetap sama.
Meski, kuberusaha berubah.

Saat ini,
Kenangan itu terputar lagi.
Membuat diriku memasuki siklus itu.
Membuat air mata ini, mengalir dengan derasnya.
Dan kutak bisa berhenti.
Meski senyuman itu, mulai kuukir lagi.

Mungkin, aku bisa marah?
Tapi, ketakutanku akan sosok berwajah itu,
Tak bisa kulenyapkan. Sungguh.
Mungkin, aku ingin membunuhnya?
Tapi, dia lenyap, meninggalkan ketakutan ini.
Setelah bertahun-tahun.

Kupikir, waktu akan berpihak padaku.
Menghapusnya, saat aku menutup keraguanku dengan seulas senyum.
Namun,
Waktu membuatku semakin membenci kata dewasa.
"Karena orang dewasa.”
Mungkin kalimat ini hanya gumpalan emosi masa kanak-kanakku.
Mungkin kalimat ini hanya sebuah alasan, dari ketidak mampuanku.
Tapi sekarang, aku kembali terisak.
Didepan sosok yang kuanggap teman.
Namun, aku mulai ragu.
Saat benang yang kurajut, telas putus.

No comments:

Post a Comment