Monday 27 October 2014

Cerpen : Petarung Mimpi

Selembar kain itu terekah. Berharap ada jarum yang menyulamkan rasa pada setiap lekuk bagiannya. Merubahnya jadi menawan oleh tangan ajaib si Penyulam. Setelah itu, mungkin dia bisa hadir untuk menghapus air mata.
***

Lelaki itu masih kokoh. Berdiri tegap, meski kadang matanya melirik lirih pada jam yang melingkari pergelangan tangannya. Detiknya berdentang cepat. Menghasilkan melodi yang menarik perhatiannya selama hari itu. Dia buru-buru. Tapi, dia juga tak bisa meninggalkan wanita yang akan tiba di tempat itu. Entah kapan? Namun dia yakin, wanita itu akan hadir hari itu.

Langkah kakinya ia percepat. Dia tidak meninggalkan tempat itu. Dia hanya mengubah posisinya, berbolak-balik. Terulang, entah sampai kapan? Mungkin, dia akan terhenti saat kaki itu tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Meskipun aku ragu, dia akan merangkap di jalan yang mulai basah oleh air hujan itu.

Pupil matanya mulai membesar. Dalam gelap, wanita itu belum tampak. Ditengoknya kanan kiri ujung jalan, namun tak ada tanda bahwa seseorang akan tiba. Tapi Lelaki bertubuh kurus itu masih teguh. Kadang ia buka kaca matanya yg berembun. Mengelusnya pada baju kaos lengan pendeknya yang basah kuyup. Dia tampak sangat konyol. Wanita itu bahkan tak akan tahu dia di tempat itu. Tapi dia, entah?

Lelaki itu masih kokoh. Penyesalan masa lalunya tidak bisa ia torehkan. Meskipun bisa. Kepada siapa lagi ia akan menorehkannya? Sekarang dialah si tunggal abadi dalam keluarganya. Meski tak pantas pula disebut keluarga. Matanya mulai memerah. Delapan tahun, ia habiskan dengan memercayai mimpi itu. Bergumam akan mimpi itu. Juga, menyesal karena menetang secercah mimpi, delapan tahun silam. Sekarang, dia hanya bisa hidup dengan berharap terkabulnya mimpi itu. Setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat wanita yang sama. Namun lebih elegan. Bersama keluarga besarnya. Walau dia tahu wanitanya, wanita yang berbeda.
***

"Kau salah.",ucap wanita berkepang dua itu.

"Apa yang salah dari ucapanku? Bukankah memang seperti itu? Kau tidak akan bisa.",tegur Lelaki yang sibuk beradu dengan monitor di hadapannya.

"Kau salah.",tangis wanita itu pecah. "Mimpiku tak salah."

"Apa yang kau percayai dari mimpi gilamu itu? Kita telah hidup bersama sejak aku ataupun kau belum bisa mengucap satu hurufpun. Apalagi yang tidak kutahu darimu? Kau ini istriku, Lucia. Aku mengenalmu.",jelas sang suami, dan menciptakan bimbang dalam diri Lucia.

"Mas, tidak tahu banyak hal. Kenalkah Mas Nathan dengan orang tuaku? Tidakkan? Lalu bagaimana mas, bisa menilai mimpiku seperti itu.",rusuk Lucia melemah, setelah mengucap kalimat-kalimat ini. Nathan yang sadar sesegera merangkuh tubuh lemah sang istri. Lebih dari siapapun dia tahu kondisi Lucia.

"Maafkan aku. Maafkan mas. Tapi itu sungguh gila. Kau punya saudara kembar? Itu hanya mimpimu, Lucia. Bangunlah!"

"Aku tak pernah tidur, mas. Aku yakin."

"Bodoh! Kau ingin aku terus percaya bualan yang kau anggap lucu itu? Ingatlah, aku juga kau. Kita ini yatim piatu. Bermimpi punya keluarga. Aku juga tahu perasaan itu. Tapi sadarlah, itu takkan bisa. Tuhan menakdirkan kita seperti ini."

"Ini bukan mimpi. Ini nyata."

"Gila !!! Cukuplah. Tidakkah kau anggap, aku ini keluargamu? Saudara kembar? Kau sudah lelah hidup dengan anak yatim piatu ini?"

"Tidak mas. Bukan seperti itu."

"Pergilah kau cari saudara kembarmu itu!"
***

Dia sadar ia masih tidur. Terlelap begitu nyaman oleh sentuhan air. Juga melodi yang tak bisa berhenti oleh hujan. Menyelipkan angannya diantara awan. Lalu berdoa, "Ku ingin dia kembali".
***

Tapi, apalah? Kain telah terusik jarum, yang dengan lincahnya menari. Menusuk, hingga kadang pula merobek. Menciptakan sulaman yang indah, dalam genggaman yang tak bisa tersinari matahari. Juga tak mampu menghapus air mata.
(20:38/19/10/2014/Tulipungu)

No comments:

Post a Comment