Seribu kata tak memiliki arti. Air mata hanya cover yang tak berarti. Tawa menjauh meninggalkan hati. Saat yang ada mulai tertatih, disakiti, hingga tak berarti. Lalu apa yang terjadi? Anak kucing itu, bisa saja tumbuh jadi harimau.
Benang merah. Akankah masih ada? Saat jarum-jarum itu telah patah. Saat jejemari menolak. Saat mata berpaling. Bukankah hidup ini lucu? Ketika Sang jadi tuli. Ketika Sang telah buta. Ketika Sang mulai bisu.
Hal yang tertulis. Harusnya jadi pengetahuan. Harusnya jadi berguna. Bukan arena balap. Bukan sarana iklan para sponsor. Tapi apa? Yang tertulis telah ditetapkan. Sangpun masih kokoh akan penyesalan. Saat bintang berubah jadi buntung. Jalan tertutup. Sang hanya berdiri di depan tembok. Tanpa arah.
Bubur kertas tak mungkin jadi selembar kertas. Putih warnanya bisa berubah. Terganti hitam pekat akan tinta. Namun bisakah Sang mengerti? Saat kata itu menghilang dalam pandangan. Saat yang berhembus, membuat kedua tangan terangkat mengelus bahu. Memberikan pelukan hangat pada diri sendiri. Ketika mata mengelak. Ketakutan akan api yang hebat disekeliling. Jauh. Sang ingin berhenti. Berhenti menatap pada bulan yang hanya diam. Namun S,A,N, dan G pun akan tertatih. Lenyap dalam senyap. Tenggelam sangat kelam. Lalu apa? Tangan tetaplah tangan. Tak akan berubah.
Bulan jadi merah. Gugup mungkin ia rasakan. Udara semakin menjadi. Kadang angin melesat cepat tanpa permisi. Hingga bintik jinggapun hilang ditelan malam. Semua mulai lenyap. Namun Sang tetap sama. Tak ada yang berubah. Kecuali pipi yang menjadi sembab. Untuk S,A,N,dan G yang harus tetap bertahan. Di atas kaki kurusnya yang mulai lunglai. Terjatuh, termakan rayap di atas jalan yang membeku. Sesal hanya tinggal harap. Tidak ada yang berubah. Hanya saja Sang ingin berubah. Menciptakan es di atas api. Atau memasak bubur di atas jalan yang membeku.
DI BAWAH BULAN MERAH YANG PENUH ARTI. (22.04/19/09/2014/Tulipungu)
No comments:
Post a Comment