Sunday, 21 September 2014

Cerpen : Halusinasi



             
Pernah kubaca sebuah kutipan novel, dari buku pelajaran bahasaku. “Tulisan dapat memperlihatkan wujud asli dari perasaan seseorang. Mata dapat menunjukkan sifat asli dari buah lidah seseorang. Tutur kata dari orang lain dapat mengubah pendirian seseorang. Dan pada akhirnya, sebuah kejujuran dapat meyakinkan seribu kebohongan yang telah lalu.”itulah kutipan novel yang ingin kubahas. Sebuah kutipan yang pernah kuremehkan bersama teman-temanku, dengan kata kuno,  basi, dan beberapa kata-kata buruk lainnya.
              Tapi sekarang, kutipan itu bagai tumbuh dalam pikiranku. Bahkan sekarang mungkin telah memiliki buah, yang harus dipetik dan di rasakan manfaatnya. Buah yang mengubah gadis nakal, bodoh, tidak punya pikiran, dan gadis yang bahkan tidak pernah diam, seperti Adela, menjadi pendiam dan penuh beban pikiran. “Bagaimana jika kebohongan yang menyembunyikan kejujuran? Apa yang terjadi setelah itu? Apakah akan berjalan seperti biasa? Selayaknya? Atau berjalan pada arah yang jauh berbeda? Apakah tersangka dapat menjadi korban? Atau korban yang berubah menjadi tersangka?”itulah buah-buah pikiranku.
              Aku yang dulu sangat suka dengan game computer ataupun game online ini, sekarang tidak lagi. Aktivitasku yang dulu, berubah drastis hanya karna buah pikiran. Menghabiskan waktuku menulis kata demi kata, ataupun hanya sekedar rocetan demi rocetan, untuk mengubah sebuah sifat yang tumbuh secara otomatis dalam diriku. Sifat yang datang membawa beribu pikiran, melalui lamunanku. Ingin kuubah semua itu. Tapi mengubah sesuatu dalam diriku yang bersifat permanen, merupakan hal yang tidak mudah. “Kapan pikiran itu datang? Bisakah dia pergi sekarang juga? Sampai titik manakah, dia akan mengubah diriku? Dan otomatis, dia akan menghancurkan hidupku.”tuturku, saat aku mulai sadar akan kelakuanku.
              Sebagai seorang siswi kelas 12C, Tenses High School, New York, aku bahkan melupakan kewajibanku. Terus menerus kuterbawa pada sebuah HALUSINASI, yang kadang tidak kusadari. Sebuah HALUSINASI yang muncul semenjak kubaca kutipan novel itu. Selayaknya aku terhipnotis, dan memasuki dunia baru yang belum kupahami.
*****
              Suatu hari, kukunjungi kampung halamanku di Florida. Berjalan menikmati setiap hembusan angin, yang menimpah wajah maupun tubuhku. Hingga tiba aku di sebuah rumah besar dengan 2 tingkat, yang sangat familiar untukku. Rumah siapa lagi? Jika itu bukan rumah keluargaku. Rumah keluarga besarku. Ada aku, ayah, ibu, kakak, kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu-sepupuku.
              Menginjakkan kakiku pada lantai dengan debu yang cukup tebal, membuatku tersadar “Apakah keluarga mulai jadi pemalas?” Lalu kuketuk pintu dan berteriak “Mama... Aku pulang !” Teriakan pertama, tidak ada jawaban. Begitupun dengan teriakan kedua, ketiga, dan hingga teriakanku yang ke delapan. Tapi satupun tidak ada jawaban. “Apakah mungkin mereka mempersiapkan surprise untukku lagi, seperti tahun lalu?”pikirku dan mulai memegang ganggang pintu.
              “Tidak terkunci”tuturku. Pintu yang dari tadi, kuketuk-ketuk ternyata tidak terkunci. Kumasuki rumahku itu, tapi tidak ada tanda, adanya penghuni dan mungkin dalam jangka waktu yang cukup lama. Menyalakan lampu dengan saklar dibelakang pintu, membuatku terlihat menghapal setiap titik dalam rumah lamaku itu. Lalu terduduk aku di sebuah ruang tamu, dengan debu tipis yang menyelimutinya. Kubersihkan debu itu dengan tanganku, lalu kulihat sekitarku dan bahkan akupun memalingkan pandanganku kearah lain, membuktikan bahwa tidak mampu aku melihat kondisinya. Tapi saat kupalingkan tatapanku, yang kulihat adalah tempat yang berbeda dengan kondisi yang sama buruknya, bahkan ada yang lebih buruk. Kotor, dipenuhi dengan benda-benda yang berserakan, beberapa benda yang terlihat rusak, dan beberapa dinding yang terdapat bercak merah. Tanpa kusadar, air mata mulai membasahi pipiku, kakiku mulai berlari menuju ruangan-ruangan dalam rumah itu, tanganku bergerak untuk menggenggam ganggang demi ganggang, bagaikan sebuah gerak refleks. Mulutku juga ikut mengeluarkan kata demi kata. “Ayah, Mama, apakah kau ada di dalam? Kakak, kenapa kau membiarkanku menunggu? Paman, apakah kau tidak menerima kedatanganku lagi? Apakah aku bukan anggota keluarga ini lagi? Aku pulang, karna aku merindukan kalian. Sebesar itukah rasa benci kalian kepadaku? Sehingga kalian semua, bahkan tidak ingin menengok kearahku.”tutur kata yang muncul, saat aku memasuki ruangan demi ruangan.
              Semua kenangan yang bagaikan sebuah movie, terputar secara otomatis dalam pikiranku saat aku melangkahkan kaki, langkah demi langkah. Menandakan bahwa disetiap sudut ataupun disetiap sisi dalam rumah itu, tersimpan sebuah bahkan lebih kenangan. Hingga pikiranku tiba, disatu kenangan buruk. Saat kejadian saling membunuh, itu terjadi. Masih teringat jelas posisiku, saat itu. Duduk memojok, menyaksikan tragedy yang dimainkan seluruh anggota keluargaku, dengan air mata yang terus mengalir.
              Membunuh atau dibunuh. Itulah keadaan yang pernah dialami keluargaku. Hanya satu masalah, dimana mereka harus saling membunuh satu sama lain, untuk menyelesaikannya. Hingga tertinggal satu orang, dan orang itu adalah kakakku, Andrew. Tapi setelah melihat semuanya, dia memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Bukankah mereka semua itu jahat? Mereka bahkan tidak melihat kearahku, saat mereka memutuskan mengakhiri hidupnya.
              Mengingatnya membuatku tertawa. Tapi mataku malah menunjukkan sebaliknya. Terus menerus, dia mengeluarkan air mata. Tidak kusadar  tubuhku terduduk di tempat, dimana kejadian itu terjadi. Lalu kutengok pojok, dimana aku duduk waktu itu. Aku benar-benar terkendali oleh perasaanku. Atau mungkin hanya sebuah HALUSINASI. Aku melihat kembali diriku menangis dipojok itu. Anak kecil yang berumur 6 tahun, bahkan tidak tahu apa-apa, yang terus menangis menyaksikan tragedy itu.
              “Mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa aku harus kembali mengingat kisah bodoh itu? Bagaimana aku bisa kembali ketempat yang buruk ini?”tuturku, saat aku mulai tersadar. Hingga aku lelah dan terbaring tidak sadarkan diri ditempat itu.
*****
              “Adel... Ayo bangun !”tutur Maria, gadis berumur 19 tahun dari Italia. “Apakah kau lupa hari ini? Hari ini ultah Zhee (Zhee Han/Han Zhien, gadis berumur 18 tahun dari China.)”lanjut Maria. “Sekarang Rene (Rene, gadis berumur 18 tahun dari New York.) sudah mempersiapkan surprisenya di lantai 2.”desak Maria.
              “Apa? Zhee? Rene? Dimana ini? Kamu siapa?”tuturku, kaget. “Aduhh... Jangan bercanda lagi. Apakah kau tidak mengasihaniku yang telah membangunkanmu selama beberapa jam?”canda Maria. “Ayo cepat keatas !”ajak Maria seraya menarik tanganku.
              Meski aku tidak dapat menahan rasa gugupku, aku menikmatinya. Aku tidak mengenalnya. Tapi mereka mengenalku. Jika aku membiasakannya, beberapa hari yang akan datang aku juga akan terbiasa.
              “Surprise. Happy  Birthday, Zhee.”kataku, Maria, dan Rene. “Wow... Thanks, my friends.”jawab Zhee dengan rasa terkagum-kagum, setelah melihat surprise yang kami persiapkan. “Ini hadiah dariku.”kataku. “Sorry, buruk. Soalnya aku tidak tahu, kalau hari ini adalah ultahmu.”lanjutku. “Dia memang pelupa, Zhee.”balas Rene. “Pelupa?”bingunku. “Lihat dia. Jangan pura-pura lagi dehh.”lanjut Maria dengan tatapan sinis untukku. “Tidak apa-apa.”jawab Zhee, seraya mengangkat tangannya menuju ke pipiku. “Pipi dan matamu... terlihat lembab. Jangan menangis lagi untukku dan yang lainnya.”lanjut Zhee. “Maaf.”balasku. “Tidak adakah kata lain yang dapat kau ucapkan selain maaf.”jawab Rene, seraya memelukku dan disusul oleh yang lain.
              Kehidupanku mulai berubah semenjak mereka masuk kedalam hidupku. Tentu, berubah kearah yang lebih baik, menurutku. Tragedi yang dulu selalu menghantui tiap detik hidupku, sekarang mulai menjauh dan kuharap tidak akan pernah muncul lagi. Nyatanya aku benar-benar tidak mengenal mereka, atau mungkin aku hanya sekedar lupa, seperti yang sekarang aku perankan bersama mereka. Orang-orang yang sekarang berada disisiku, hanya untuk menghapus air mata kesedihanku, atau menemaniku mengeluarkan air mata kebahagian. Layaknya orang tua ataupun kakak bagiku. Sekarang, aku mulai sadar akan pentingnya seseorang dalam hidupku. Tidak akan kusia-siakan hari ini.
              Hingga hari itu datang. Hari, dimana aku mulai tersadar akan sesuatu. Satu persatu dari mereka mulai lenyap dalam hidupku. Lenyap melalui pisau berdarah yang telah merenggut nyawa keluargaku. Aku tidak yakin akan itu. Tapi nyatanya, mereka lenyap melalui tanganku. Atau mungkin hanya HALUSINASIku.
              HALUSINASI yang telah menciptakan mereka dalam kehidupanku. Kehidupan yang sunyi, dimana hanya aku seorang yang memerankannya. Meskipun demikian, aku tetap merasa bersalah akan itu. Rasa bersalah yang timbul karna HALUSINASI.
*****
              Aku tersadar dari tidur panjangku. Tiba-tiba, aku berada pada sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang telah menyilaukan pandanganku. Lalu aku berpikir... “HALUSINASI apa lagi ini?”

(12.32/03/02/2013/tulipungu)

No comments:

Post a Comment