Pernah kubaca sebuah kutipan
novel, dari buku pelajaran bahasaku. “Tulisan
dapat memperlihatkan wujud asli dari perasaan seseorang. Mata dapat menunjukkan
sifat asli dari buah lidah seseorang. Tutur kata dari orang lain dapat mengubah
pendirian seseorang. Dan pada akhirnya, sebuah kejujuran dapat meyakinkan
seribu kebohongan yang telah lalu.”itulah
kutipan novel yang ingin kubahas. Sebuah kutipan yang pernah kuremehkan bersama
teman-temanku, dengan kata kuno, basi, dan
beberapa kata-kata buruk lainnya.
Tapi sekarang, kutipan itu bagai
tumbuh dalam pikiranku. Bahkan sekarang mungkin telah memiliki buah, yang harus
dipetik dan di rasakan manfaatnya. Buah yang mengubah gadis nakal, bodoh, tidak
punya pikiran, dan gadis yang bahkan tidak pernah diam, seperti Adela, menjadi
pendiam dan penuh beban pikiran. “Bagaimana
jika kebohongan yang menyembunyikan kejujuran? Apa yang terjadi setelah itu?
Apakah akan berjalan seperti biasa? Selayaknya? Atau berjalan pada arah yang jauh
berbeda? Apakah tersangka dapat menjadi korban? Atau korban yang berubah
menjadi tersangka?”itulah buah-buah pikiranku.
Aku yang dulu sangat suka dengan game computer ataupun game online ini, sekarang tidak lagi.
Aktivitasku yang dulu, berubah drastis hanya karna buah pikiran. Menghabiskan
waktuku menulis kata demi kata, ataupun hanya sekedar rocetan demi rocetan,
untuk mengubah sebuah sifat yang tumbuh secara otomatis dalam diriku. Sifat
yang datang membawa beribu pikiran, melalui lamunanku. Ingin kuubah semua itu.
Tapi mengubah sesuatu dalam diriku yang bersifat permanen, merupakan hal yang
tidak mudah. “Kapan pikiran itu datang? Bisakah
dia pergi sekarang juga? Sampai titik manakah, dia akan mengubah diriku? Dan
otomatis, dia akan menghancurkan hidupku.”tuturku, saat aku mulai sadar
akan kelakuanku.
Sebagai seorang siswi kelas 12C, Tenses High School, New York, aku
bahkan melupakan kewajibanku. Terus menerus kuterbawa pada sebuah HALUSINASI,
yang kadang tidak kusadari. Sebuah HALUSINASI yang muncul semenjak kubaca
kutipan novel itu. Selayaknya aku terhipnotis, dan memasuki dunia baru yang
belum kupahami.
*****
Suatu hari, kukunjungi kampung
halamanku di Florida. Berjalan
menikmati setiap hembusan angin, yang menimpah wajah maupun tubuhku. Hingga
tiba aku di sebuah rumah besar dengan 2 tingkat, yang sangat familiar untukku. Rumah
siapa lagi? Jika itu bukan rumah keluargaku. Rumah keluarga besarku. Ada aku,
ayah, ibu, kakak, kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu-sepupuku.
Menginjakkan kakiku pada lantai
dengan debu yang cukup tebal, membuatku tersadar “Apakah keluarga mulai jadi pemalas?” Lalu kuketuk pintu dan
berteriak “Mama... Aku pulang !”
Teriakan pertama, tidak ada jawaban. Begitupun dengan teriakan kedua, ketiga,
dan hingga teriakanku yang ke delapan. Tapi satupun tidak ada jawaban. “Apakah mungkin mereka mempersiapkan surprise
untukku lagi, seperti tahun lalu?”pikirku dan mulai memegang ganggang
pintu.
“Tidak terkunci”tuturku. Pintu yang dari tadi, kuketuk-ketuk
ternyata tidak terkunci. Kumasuki rumahku itu, tapi tidak ada tanda, adanya
penghuni dan mungkin dalam jangka waktu yang cukup lama. Menyalakan lampu
dengan saklar dibelakang pintu, membuatku terlihat menghapal setiap titik dalam
rumah lamaku itu. Lalu terduduk aku di sebuah ruang tamu, dengan debu tipis
yang menyelimutinya. Kubersihkan debu itu dengan tanganku, lalu kulihat
sekitarku dan bahkan akupun memalingkan pandanganku kearah lain, membuktikan
bahwa tidak mampu aku melihat kondisinya. Tapi saat kupalingkan tatapanku, yang
kulihat adalah tempat yang berbeda dengan kondisi yang sama buruknya, bahkan
ada yang lebih buruk. Kotor, dipenuhi dengan benda-benda yang berserakan,
beberapa benda yang terlihat rusak, dan beberapa dinding yang terdapat bercak
merah. Tanpa kusadar, air mata mulai membasahi pipiku, kakiku mulai berlari
menuju ruangan-ruangan dalam rumah itu, tanganku bergerak untuk menggenggam
ganggang demi ganggang, bagaikan sebuah gerak refleks. Mulutku juga ikut
mengeluarkan kata demi kata. “Ayah, Mama,
apakah kau ada di dalam? Kakak, kenapa kau membiarkanku menunggu? Paman, apakah
kau tidak menerima kedatanganku lagi? Apakah aku bukan anggota keluarga ini
lagi? Aku pulang, karna aku merindukan kalian. Sebesar itukah rasa benci kalian
kepadaku? Sehingga kalian semua, bahkan tidak ingin menengok kearahku.”tutur
kata yang muncul, saat aku memasuki ruangan demi ruangan.
Semua kenangan yang bagaikan
sebuah movie, terputar secara otomatis dalam pikiranku saat aku melangkahkan
kaki, langkah demi langkah. Menandakan bahwa disetiap sudut ataupun disetiap
sisi dalam rumah itu, tersimpan sebuah bahkan lebih kenangan. Hingga pikiranku
tiba, disatu kenangan buruk. Saat kejadian saling membunuh, itu terjadi. Masih
teringat jelas posisiku, saat itu. Duduk memojok, menyaksikan tragedy yang
dimainkan seluruh anggota keluargaku, dengan air mata yang terus mengalir.
Membunuh atau dibunuh. Itulah
keadaan yang pernah dialami keluargaku. Hanya satu masalah, dimana mereka harus
saling membunuh satu sama lain, untuk menyelesaikannya. Hingga tertinggal satu
orang, dan orang itu adalah kakakku, Andrew. Tapi setelah melihat semuanya, dia
memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Bukankah mereka semua itu jahat?
Mereka bahkan tidak melihat kearahku, saat mereka memutuskan mengakhiri hidupnya.
Mengingatnya membuatku tertawa.
Tapi mataku malah menunjukkan sebaliknya. Terus menerus, dia mengeluarkan air
mata. Tidak kusadar tubuhku terduduk di
tempat, dimana kejadian itu terjadi. Lalu kutengok pojok, dimana aku duduk
waktu itu. Aku benar-benar terkendali oleh perasaanku. Atau mungkin hanya
sebuah HALUSINASI. Aku melihat kembali diriku menangis dipojok itu. Anak kecil
yang berumur 6 tahun, bahkan tidak tahu apa-apa, yang terus menangis
menyaksikan tragedy itu.
“Mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa aku harus kembali mengingat
kisah bodoh itu? Bagaimana aku bisa kembali ketempat yang buruk ini?”tuturku,
saat aku mulai tersadar. Hingga aku lelah dan terbaring tidak sadarkan diri
ditempat itu.
*****
“Adel... Ayo bangun !”tutur Maria,
gadis berumur 19 tahun dari Italia.
“Apakah kau lupa hari ini? Hari ini ultah Zhee (Zhee Han/Han Zhien, gadis berumur 18 tahun dari China.)”lanjut
Maria. “Sekarang Rene (Rene, gadis
berumur 18 tahun dari New York.) sudah mempersiapkan surprisenya di lantai
2.”desak Maria.
“Apa? Zhee? Rene? Dimana ini? Kamu
siapa?”tuturku, kaget. “Aduhh... Jangan bercanda lagi. Apakah kau tidak
mengasihaniku yang telah membangunkanmu selama beberapa jam?”canda Maria. “Ayo
cepat keatas !”ajak Maria seraya menarik tanganku.
Meski aku tidak dapat menahan rasa
gugupku, aku menikmatinya. Aku tidak mengenalnya. Tapi mereka mengenalku. Jika
aku membiasakannya, beberapa hari yang akan datang aku juga akan terbiasa.
“Surprise. Happy Birthday, Zhee.”kataku,
Maria, dan Rene. “Wow... Thanks, my
friends.”jawab Zhee dengan rasa terkagum-kagum, setelah melihat surprise yang
kami persiapkan. “Ini hadiah dariku.”kataku. “Sorry, buruk. Soalnya aku tidak tahu, kalau hari ini adalah
ultahmu.”lanjutku. “Dia memang pelupa, Zhee.”balas Rene. “Pelupa?”bingunku.
“Lihat dia. Jangan pura-pura lagi dehh.”lanjut Maria dengan tatapan sinis
untukku. “Tidak apa-apa.”jawab Zhee, seraya mengangkat tangannya menuju ke
pipiku. “Pipi dan matamu... terlihat lembab. Jangan menangis lagi untukku dan
yang lainnya.”lanjut Zhee. “Maaf.”balasku. “Tidak adakah kata lain yang dapat
kau ucapkan selain maaf.”jawab Rene, seraya memelukku dan disusul oleh yang
lain.
Kehidupanku mulai berubah semenjak
mereka masuk kedalam hidupku. Tentu, berubah kearah yang lebih baik, menurutku.
Tragedi yang dulu selalu menghantui tiap detik hidupku, sekarang mulai menjauh dan
kuharap tidak akan pernah muncul lagi. Nyatanya aku benar-benar tidak mengenal
mereka, atau mungkin aku hanya sekedar lupa, seperti yang sekarang aku perankan
bersama mereka. Orang-orang yang sekarang berada disisiku, hanya untuk
menghapus air mata kesedihanku, atau menemaniku mengeluarkan air mata
kebahagian. Layaknya orang tua ataupun kakak bagiku. Sekarang, aku mulai sadar
akan pentingnya seseorang dalam hidupku. Tidak akan kusia-siakan hari ini.
Hingga hari itu datang. Hari,
dimana aku mulai tersadar akan sesuatu. Satu persatu dari mereka mulai lenyap
dalam hidupku. Lenyap melalui pisau berdarah yang telah merenggut nyawa
keluargaku. Aku tidak yakin akan itu. Tapi nyatanya, mereka lenyap melalui
tanganku. Atau mungkin hanya HALUSINASIku.
HALUSINASI yang telah menciptakan
mereka dalam kehidupanku. Kehidupan yang sunyi, dimana hanya aku seorang yang
memerankannya. Meskipun demikian, aku tetap merasa bersalah akan itu. Rasa
bersalah yang timbul karna HALUSINASI.
*****
Aku tersadar dari tidur panjangku.
Tiba-tiba, aku berada pada sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang telah
menyilaukan pandanganku. Lalu aku berpikir... “HALUSINASI apa lagi ini?”
(12.32/03/02/2013/tulipungu)
No comments:
Post a Comment