Sunday, 21 September 2014

Cerpen : The Last Sunset


              “Tik, tik, tik.”suara tetesan air hujan yang menerpa jendela kamarku. Ingin ku berdiri, beranjak menuju jendela itu, seraya merasakan angin malam yang akan menerpa tubuhku. Tapi, tubuhku terasa kaku. Akibat terbujur kaku di tempat tidurku, dalam beberapa tahun ini. Tubuh yang mengalami lumpuh total, karna sebuah penyakit yang hidup disetiap aliran darah dalam tubuhku ini.
              Awalnya hanya sekedar sakit biasa, seperti demam yang disebabkan karena kekebalan tubuhku yang lemah. Tapi saat Dokter Chatirene mengatakan... “Ada sel kanker yang tumbuh dalam otak putri Bapak”, kepada keluargaku terutama ayahku, semua berubah. Kekebalan tubuhku yang memang lemah, semakin lemah. Tawa yang dulu selalu terpancar diwajah ayah, ibu, dan kakakku, saat melihatku, berubah menjadi tawa palsu. Kadang aku melihat mereka menangis di belakangku atau pada saat aku tertidur. Pernah aku pura-pura tertidur, hanya untuk melihat wajah asli mereka. Pada saat itu, mereka akan saling menyalahkan diri sendiri, karna lalai dalam merawatku. “Maafkan aku, Yah, Bu ! Aku benar-benar tidak mampu merawat Sunny dengan benar. Mungkin saja aku telah melukai hadiahku. Aku bukanlah kakak yang baik.”tutur Kak.Steven pada suatu waktu.
              Telah beberapa kali, aku melakukan operasi pengangkatan sel kanker itu dalam tubuhku. Tapi pada waktu yang berbeda, sel kanker yang lain akan tumbuh di titik yang berbeda dalam tubuhku. Bagaikan tidak ingin lepas dari kehidupanku. Hingga aku lelah, pada operasi-operasi yang menyakitkan itu, dan memutuskan untuk beristirahat di rumah, tentu dengan perawatan berjalan.
              Beberapa tahun kemudian, aku tidak mampu menggerakkan kakiku. Setelah diperiksa oleh Dokter Chatirene, sel kanker itu telah menguasai otak kecil, dan anggota gerakku. Sehingga mungkin suatu hari nanti, aku akan mengalami kelumpuhan total. Setelah hari itu, aku benar-benar mengalami kelumpuhan total. Dan aku mulai menyerah terhadap hidupku. Setiap menit, bahkan detik hidupku, kulewati dengan terbaring di tempat tidurku itu. Kadang, Kak.Steven akan menemaniku, dan menceritakan banyak kisah untukku di kamar, yang bagaikan sebuah penjara dalam hidupku itu.
*****
              “Hei, apa yang kau lihat?”tanya Kak.Steven, merusak lamunanku. “Aku melihat hujan itu. Sudah lama aku tidak merasakan disentuh hujan. Bahkan sekarang mungkin aku sudah melupakannya.”jawabku. “Apakah kau ingin merasakannya lagi?”tanya Kak.Steven. “Mmm... Iyah. Apakah boleh?”kataku mengangguk, dan bertanya. “Tentu saja boleh. Jika kau mau ikut terapi.”balas Kak.Steven. “Apakah itu tidak sakit? Apakah terapi akan menyembuhkanku tanpa harus menyakitiku? Kak, aku tidak ingin merasakan sakitnya tusukan jarum suntik lagi. Aku tidak ingin merasakan panasnya pisau operasi yang akan menyentuh tubuhku lagi. Aku tidak ingin merasakan itu lagi.”kataku seraya menggenggam tangan Kak.Steven dengan keras. “Sunny... Terapi itu bukan operasi. Terapi itu berbeda dengan operasi. Terapi tidak akan menyakitimu. Jika dia menyakitimu, ada kakak yang akan melindungimu.”balas Kak.Steven. “Benarkah itu? Apakah kakak tidak membohongiku?”tanyaku. “Kakak janji. Kakak akan menjagamu dan kakak tidak akan pernah membohongimu.”tutur Kak.Steven. “Kalau begitu, aku akan ikut terapi.”balasku. “Kak... Maukah kakak menemaniku disini? Aku takut sendirian. Aku ingin tertidur, tapi aku takut.”lanjutku. “Tentu. Apakah kau lupa? Kakak akan menjagamu, kapanpun itu. Tidurlah...!”balas Kak.Steven.
*****
             Aku telah mengikuti terapi, beberapa minggu ini. Meskipun aku tahu, terapi ini tidak akan pernah menyembuhkanku, dari kanker yang hidup dalam diriku. Paling tidak terapi ini, membuatku duduk. Meski hanya di kursi roda. Dan selama itu, tidak mungkin aku dibiarkan keluar dari rumah, meski hanya sedetikpun.
              Aku memang telah mengalami perkembangan dengan dapatnya aku duduk. Hal yang membuatku sangat bahagia. Tapi didalam tubuhku, kanker itu telah menguasai semua titik didalam nya. Mungkin kurang dari satu bulan ini, aku akan mati karna itu. Sekarang, fisikku juga sangat buruk. Di umurku yang ke-15 tahun, aku bahkan terlihat sudah sangat tua. Rambutku yang sekarang ini, bahkan tidak tersisa satupun. Aku yang seharusnya dirawat di RS, hanya dirawat di rumah dan oleh seorang dokter pribadi. Karna rasa sakit, dan takutku akan sesuatu yang telah dilakukan dalam diriku berulang kali. Sesuatu yang membuat tubuhku dipenuhi bekas jahitan, yang sampai sekarang ini, dapat kurasakan akan sakitnya. Sesuatu yang membuatku pasrah akan segala hal yang akan terjadi dalam diriku. Sebenarnya, bertahan melawan penyakit dalam 9 tahun ini, adalah suatu keajaiban.
*****
              “Mama, besok hari Ultahku. Bisakah mama dan papa mengabulkan satu permintaanku? Permintaan yang terakhirku.”tuturku. “Apa sayang? Mama janji, mama akan mengabulkan semua permintaanmu.”balas mama. “Aku ingin melihat Sunset di pantai, California, bersama Kak.Steven.”jawabku. “Tapi kamu masih sakit.”tutur mama. “Aku tahu itu. Tapi tadi mama sudah janji.”balasku. “Mom... Aku hanya takut, kalau suatu saat nanti, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.”lanjutku. “Tap... Tapi... sayang...”balas mama. “Mom, please. Ini yang terakhir.”tuturku, berharap mama akan mengijinkanku. “Baiklah sayang. Ini yang terakhir.”kata mama mengijinkanku. “Thanks, Mom. I love you.”balasku.
*****
              Menunggu Sunset Kak.Steven menyanyikan lagu untukku. Hari ini tidak akan pernah kulupakan sampai kehidupan keduaku nanti. Kak.Steven berusaha membuatku tertawa, meski dia sendiri yang ingin menangis. Semua itu, Kak.Steven lakukan hanya untukku. Kak.Steven adalah kakak yang terbaik.
              “Kak, aku dingin.”tuturku, saat aku tidak mampu menahan angin laut yang menerpa tubuhku. “Pakai switter milikku ini. Apakah kau masih dingin?”tanya Kak.Steven, yang terkadang meneteskan air mata. “Ya. Ini sangat dingin.”jawabku. “Mukamu pucat, tanganmu dingin, dan bibirmu membeku. Seharusnya kita tidak datang seawal ini. Apakah sebaiknya kita pulang?”tutur Kak.Steven ketakutan. “Tidak. Kurang dari satu jam lagi, matahari akan terbenam. Aku akan menahannya.”balasku. “Benarkah kau tidak apa-apa? Baiklah aku akan memelukmu, agar kau tidak kedinginan, lagi.”tutur Kak.Steven, melawan rasa takutnya. “Terima kasih, Kak.”tuturku. “Bangunkan aku jika, mataharinya akan terbenam yah, kak !”lanjutku, bersandar di pundak Kak.Steven.
              Kak.Steven, Terima kasih karna telah menjadikanku satu-satunya cinta dalam hidup kakak. Maafkan aku, karna aku tidak mampu menjadi matahari untuk kakak. Perlu kakak tahu. Kalau matahari yang sebenarnya adalah kakak. Sedangkan aku hanyalah bulan yang tidak memiliki secuilpun cahaya. Bulan yang terus menerus mengambil cahaya dari matahari. Bulan yang tidak akan pernah dikenal, tanpa adanya matahari. Dan bulan yang terus-menerus bersandar pada matahari. Seperti saat ini.               Sekarang matahari yang kakak maksud itu, akan benar-benar terbenam diufuk barat. Dan besok kakak benar-benar akan menjadi matahari itu, bukan aku lagi. Matahari yang akan menyinari hidup Papa dan Mama. Sedangkan aku akan benar-benar menghilang. Menghilang dari kehidupan kakak. Tapi ini sudah membuatku bahagia. Kalau aku pernah menjadi satu-satunya cinta dalam hidup kakak.
By Sunny, Your sister & Your love.
*****

              Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan bertahan dalam dunia ini. Terbangun dalam fajar, menunggu datangnya SUN-RISE, atau menanti hadirnya malam, sambil melihat SUNSET. Yang jelas aku tahu satu hal. Bahwa aku mencintaimu, dan kau mencintaiku. Satu hal yang telah membuatku merasa lengkap didunia ini. Meski suatu saat nanti kita akan benar-benar terpisah oleh waktu dan keadaan.
By Steven and Sunny. [The Sun and The Moon.]


(11.08/06/01/2013/tulipungu)


No comments:

Post a Comment