“Seseorang yang
kau cintai, haruslah orang dengan kepribadian yang luar biasa.”ucap kakek,
kepadaku yang sedang memainkan pulpen yang senantiasa menari-nari diatas
selembar kertas.
“Tentu.”ucapku,
tersenyum simpul. “Mereka adalah Ibu, Ayah, dan Kakek.”lanjutku, menyatakan
bahwa orang-orang luar biasa yang menyelinap di dalam hatiku, sekarang sedang
duduk didepan mataku.
“Hahaha.”balas
kakek, dengan tawa yang menggebu-gebu di telingaku, sementara aku bingung
bagaimana menafsirkannya.
Itu adalah
sepotong percakapan antara aku dan kakekku 8 tahun yang lalu, dan masih
terdengar tutur-tuturnya dengan jelas ditelingaku. Percakapan yang mungkin
tidak berlaku lagi, pada keadaanku sekarang ini., karena aku yang sekarang
adalah seorang gadis remaja yang masih labil akan cinta sesungguhnya, dan
sedang berada pada puncaknya sebuah pergaulan. Namun tentulah aku masih
memiliki keteguhan di dalam hatiku.
“Ka ! Ika…!”ucap
teman sebangkuku, Amel.
“Mmm?”
“Kau mau ke anniversaryku dengan Adit nanti sore?”tanyanya,
dengan harapan aku mengatakan “Ya”.
“Anniversary?”
“Perayaan
jadianku yang ke 100 hari.”ungkapnya.
“Ouww,
itu.”pikirku. “Sorry. Kayaknya aku
nggak bisa deh, soalnya aku mau ngerjain skripsiku, yang harus kuselesaikan
sebelum maulid.”ungkapku.
“Lagi?”
“Iya. Skripsinya
tentang seseorang yang sangat aku cintai.”
“Inilah mengapa
kau selalu JOMBLO.”tuturnya, dan aku menaikan alis tanda tak paham. “Karena kau
tidak pernah membiarkan hatimu ke sosok yang lain.”
“Untuk apa memedulikan hal itu. Aku merasa sudah cukup bangga memiliki Nabi Muhammad SAW, sebagai sosok yang aku cintai.”tuturku, dan dia tersenyum.
“Untuk apa memedulikan hal itu. Aku merasa sudah cukup bangga memiliki Nabi Muhammad SAW, sebagai sosok yang aku cintai.”tuturku, dan dia tersenyum.
“Itulah
dirimu.”balasnya, melihat kearah dua anak kecil yang sedang membaca Al-Qur’an
di teras rumah mereka, sembari tersenyum dengan nikmat. “Aku sebenarnya iri
denganmu, aku tidak tahu-menahu tentang perasaan mencinta seperti
itu.”tuturnya. “Didalam hatiku hanya Ibuku, ayahku, dan Adit. Tidak ada
lagi.”lanjutnya.
“Kau tidak
salah. Perasaanmu memang wajar. Dulu
akupun demikian.”tegasku. “Tapi saat aku mulai mengenal sosok dengan
kepribadian yang luar biasa, baik akhlaq, sifat, maupun dzatnya, sosok yang dermawan,
sosok dengan kebaikannya, keteguhan, dan murah senyumnya, membuatku jatuh
cintah padanya.”tuturku, membayangkan sosok Nabi Muhammad SAW. “Aku mencintai
beliau lebih dari apapun di dunia ini, termasuk diriku sendiri, meski tak
melewati cintaku kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Aku bangga, bisa hadir
disisi, dan menjadi umatnya.”lanjutku menegaskan.
“Kau seperti
membicarakan kekasihmu saja.”ucapnya, aku tersenyum malu.
“Hehehe.
Benarkah? Aku harap, aku bisa jadi kekasihnya.”lanjutku, dan dia tertawa.
“Apa bukti kau
mencintainya?”tanya Amel dan aku terdiam. “Maksudku, apa yang membuktikan bahwa
kau sungguh mencintainya? Bukan maksudku, kau berkata bohong. Tapi aku hanya
penasaran dengan perasaanmu.”lanjutnya, dan aku tersenyum.
“Mendengarkan,
memahami, dan mengamalkan tutur kata, ajaran, dan sunnah beliau.”ucapku
spontan. “Setiap orang memiliki pendapat berbeda tentang itu, dan begitulah
caraku dan buktiku bahwa aku mencintai beliau.”
“Kau hebat,
Ka.”puji Amel, tersenyum, sembari mengangkat 2 jempolnya.
“Kaupun harus
demikian, jika kau mau belajar untuk sedikit memahaminya, mungkin kau akan
langsung memutuskan Adit.”ucapku bercanda.
“Yah. Bisa jadi.”lanjutnya,
dan kami tertawa bersama. Hehehe.
“Apa kalian
membicarakanku?”tanya Adit yang tiba-tiba berada diantara aku dan Amel.
“Sepertinya.”ucap
Amel, dan aku mengangguk tak pasti.
Akhirnya, aku
mengerti sosok yang dimaksud kakek saat aku masih berumur 7 tahun. Sosok yang
luar biasa, Nabi Muhammad SAW, dan aku akhirnya jatuh cinta kepada beliau. Sangat
mencintainya, dan aku harap beliau juga menerimaku didalam golongannya, juga
menerima kakekku yang sekarang telah pergi mengikutinya. AMIN.
(06.51/17/01/2014/tulipungu)
No comments:
Post a Comment