Sunday, 21 September 2014

Cerpen : The First Sunrise


              “Huhhh...!”hembusan nafas dari mulutku, yang terengah–engah. “Semoga nafasku tidak habis hingga disini, dan semoga detak jantungku tidak berakhir, sebelum aku melihat sepotong cinta yang akan diberikan ayah-ibuku sebagai hadiah tahun baru, nanti.”tuturku seraya berlari dari lapangan menuju rumahku dengan pakaian sepak bola, yang lengkap dengan bola yang ada digenggamanku.
              Hadiah yang telah lama kunanti, meski hari ini masih tanggal 31 Desember 1996. Hadiah yang akan menjadi satu-satunya cinta dalam hidupku. Hadiah yang akan menjadi matahari dalam keluargaku. Hadiah, yang terus-menerus menjadi sebab langkah kakiku hingga saat ini. Tidak pernah kurasakan rasa ini sebelumnya. Dimana langkah demi langkah terus berjalan. Tapi rumahku seperti sebuah kereta api, yang terus-menerus menjauh dari diriku. Perjalanan yang sebelumnya terasa singkat, sekarang bagaikan harus kulewati, dalam berbulan-bulan. Meski kumelewatinya seraya berlari. “Apakah mungkin, karna aku merasa gugup akan hadiah itu?”pikirku. “Yah... aku berlari, dengan lulut yang bagaikan akan patah dalam beberapa menit, karna getaran tulang-tulangnya, yang sedang gemetar. Getaran yang sangat dahsyat.”jawabku atas pikiran yang sebelumnya.
              Aku tidak tahu seberapa banyak waktu yang harus kuhabiskan, hanya untuk melewati jarak rumahku dengan lapangan yang kurang dari 1 km itu. Karna setelah mendengar suara dari ayahku, semua yang kulalui terlupakan begitu saja. Gugup, mulai menguasai diriku. Aku tahu benar bahwa itu akan terjadi padaku.
              “Steven ! Darimana saja kau? Apakah kau lupa hari ini? Ibu telah sangat mengkwatirkanmu.”omel ayah setiba aku diteras rumah, yang telah dipenuhi oleh keluarga. “Maafkan aku, ayah !”tuturku. “Materi terakhir yang kupelajarkan hari ini adalah olahraga. Setelah pelajaran selesai, aku dan teman-temanku melanjutkannya dengan bermain bola. Sehingga aku lupa waktu.”jelasku. “Yah sudah. Sekarang kau pergi mandi dulu.”balas ayah. “Ibu mana, Yah?”tanyaku. “Ada di kamar dengan Bibimu.”Jawab Ayah. “Apakah keadaannya, baik-baik saja?”tanyaku gugup. “Saya harap begitu.”jawab Ayah dengan rasa khawatir. “Mengapa kita tidak membawanya ke rumah sakit?”tanyaku lebih lanjut. “Kau tahu bagaimana sifat ibumu. Dia sama sekali tidak ingin kerumah sakit.”jawab Ayah. “Sudahlah. Nanti kau lihat sendiri keadaan Ibumu. Sebaiknya sekarang kau mandi.”lanjut Ayah, dengan rasa khawatir yang masih tercurah diwajahnya.
*****
              Melihat kondisi ibuku yang sangat pucat, membuatku tidak menginginkan hadiah itu lagi. Berjam-jam aku sekeluarga dilanda rasa takut, yang bagaikan sebuah tsunami. Sedangkan ibu terus berjuang melawan sakit, dengan dibantu Bibi Chatirene, dokter pribadi ibuku. Aku sendiri, bahkan tidak mampu melihat semua itu, berlanjut. Hingga aku tertidur di pangkuan Ayah, di sofa, ruang utama dalam rumahku itu.
*****
              Mendengar jeritan ibu, aku terbangun. Lalu kutatap jam yang melingkar ditanganku. “Pukul 00.35 ...?”tuturku. Berjalan aku menuju kamar, tempat ibuku berada. Keringatnya, terus bercucuran. Padahal, musim salju belum berakhir di kota California ini. Ingin sekali aku melanjutkan langkah hingga aku berdiri disampingnya. Tapi ada banyak orang disampingnya.  Sehingga aku tidak memiliki ruang sedikitpun. Meskipun begitu, aku merasa sudah cukup melihat wajahnya, yang penuh beban dan rasa sakit itu.
              Berjam-jam keluargaku dilanda rasa takut. Berjam-jam aku mendengar teriakan sakit dari ibuku. Dan berjam-jam air mata bercucuran dari mataku, secara otomatis. Hingga pada pukul 04.45, tanggal 01 January 1997, terdengar suara... “Huahhh...huahhhh...”yang tak lain adalah suara hadiah untukku di tahun ini. Suara sepotong cinta yang telah lama kunanti. Yang tak lain adalah suara adikku.
              Senyum mulai terpancar dari wajah keluargaku, satu persatu. Bagaikan sebuah pertandingan, mereka berusaha untuk memasuki kamar, dimana ibuku berada. Air mata yang awalnya terus membasahi pipiku, sekarang berubah menjadi sebuah senyuman dari bibirku. Senyuman kebahagiaan. Apalagi setelah mendengar perkataan Dok. Chatirene... “Ny. selamat dan hanya perlu beristirahat. Dan anaknya berjenis kelamin perempuan.
              Mungkin karna semuanya lelah, satu persatu keluargaku mulai tertidur. kecuali ayah yang terus menerus duduk mendampingi ibuku yang sekarang tertidur lelah. “Ibu pantas mendapatkannya, sekarang.”kataku pada ayah seraya menuju ke keranjang bayi, yang berada tak jauh dari kasur ibu. “Ayah... ! Apakah dia adikku? Dia sangat cantik, dan begitu manis.”tuturku, seraya memperlihatkan rasa senangku melihat hadiah tahun baru yang begitu indah. “Bolehkah aku menggendongnya? Sekarang dia tersenyum kepadaku, Yah. Bagaikan memintaku menggendongnya.”lanjutku, berharap ayah mengijinkanku. “Kau ingin menggendongnya kemana?”tanya ayah. “Hanya sampai jendela itu. Aku ingin memperlihatkan padanya, betapa indahnya Sun-rise itu.”jawabku. “Baiklah...! Tapi jika kau melukainya, jangan harap ayah akan membiarkanmu merayakan ultah ke 10 mu, tahun ini. Mengerti?”balas Ayah. “Iyah, Yah. Tidak mungkin aku melukai hadiahku.”jawabku yakin.
              Detik-detik berlalu, saat aku dengan adikku melihat Sun-rise. Sun-rise yang pertama untuknya. Agar tidak melukainya, berusaha aku menahan gugup yang mulai menguncang tanganku. “Yah...! Boleh aku yang memberinya nama?” teriakku dengan pelan, berharap adikku tidak takut. “Siapa?”tanya ayah. “Sunny.”jawabku. “Nama yang bagus.”balas ayah. “Baiklah. Namanya Sunny.”lanjut ayah.
              Sunny... Selamanya, kau akan menjadi satu-satunya cinta untukku. Selamanya, kau akan menjadi matahari dalam hidupku. Dan selamanya kau akan terus menyinari tiap detik hidupku, ayah dan ibu. Karna kau lebih indah dibandingkan cahaya yang berada diufuk timur itu. Jauh lebih indah. By Steven, Your Brother and Your Love.

(10.54/06/01/2013/tulipungu)

No comments:

Post a Comment