“Huhhh...!”hembusan nafas dari mulutku, yang terengah–engah. “Semoga nafasku tidak habis hingga disini,
dan semoga detak jantungku tidak berakhir, sebelum aku melihat sepotong cinta
yang akan diberikan ayah-ibuku sebagai hadiah tahun baru, nanti.”tuturku
seraya berlari dari lapangan menuju rumahku dengan pakaian sepak bola, yang
lengkap dengan bola yang ada digenggamanku.
Hadiah yang telah lama kunanti,
meski hari ini masih tanggal 31 Desember 1996. Hadiah yang akan menjadi satu-satunya cinta dalam hidupku. Hadiah yang
akan menjadi matahari dalam keluargaku. Hadiah, yang terus-menerus menjadi
sebab langkah kakiku hingga saat ini. Tidak pernah kurasakan rasa ini
sebelumnya. Dimana langkah demi langkah terus berjalan. Tapi rumahku seperti
sebuah kereta api, yang terus-menerus menjauh dari diriku. Perjalanan yang
sebelumnya terasa singkat, sekarang bagaikan harus kulewati, dalam
berbulan-bulan. Meski kumelewatinya seraya berlari. “Apakah mungkin, karna aku merasa gugup akan hadiah itu?”pikirku. “Yah... aku berlari, dengan lulut yang
bagaikan akan patah dalam beberapa menit, karna getaran tulang-tulangnya, yang
sedang gemetar. Getaran yang sangat dahsyat.”jawabku atas pikiran yang
sebelumnya.
Aku tidak tahu seberapa banyak
waktu yang harus kuhabiskan, hanya untuk melewati jarak rumahku dengan lapangan
yang kurang dari 1 km itu. Karna setelah mendengar suara dari ayahku, semua
yang kulalui terlupakan begitu saja. Gugup, mulai menguasai diriku. Aku tahu
benar bahwa itu akan terjadi padaku.
“Steven ! Darimana saja kau? Apakah kau lupa hari ini? Ibu telah sangat
mengkwatirkanmu.”omel ayah setiba aku diteras rumah, yang telah dipenuhi
oleh keluarga. “Maafkan aku, ayah !”tuturku.
“Materi terakhir yang kupelajarkan hari
ini adalah olahraga. Setelah pelajaran selesai, aku dan teman-temanku
melanjutkannya dengan bermain bola. Sehingga aku lupa waktu.”jelasku. “Yah sudah. Sekarang kau pergi mandi dulu.”balas
ayah. “Ibu mana, Yah?”tanyaku. “Ada di kamar dengan Bibimu.”Jawab Ayah.
“Apakah keadaannya, baik-baik saja?”tanyaku
gugup. “Saya harap begitu.”jawab Ayah
dengan rasa khawatir. “Mengapa kita tidak
membawanya ke rumah sakit?”tanyaku lebih lanjut. “Kau tahu bagaimana sifat ibumu. Dia sama sekali tidak ingin kerumah
sakit.”jawab Ayah. “Sudahlah. Nanti
kau lihat sendiri keadaan Ibumu. Sebaiknya sekarang kau mandi.”lanjut Ayah,
dengan rasa khawatir yang masih tercurah diwajahnya.
*****
Melihat kondisi ibuku yang sangat
pucat, membuatku tidak menginginkan hadiah itu lagi. Berjam-jam aku sekeluarga
dilanda rasa takut, yang bagaikan sebuah tsunami. Sedangkan ibu terus berjuang
melawan sakit, dengan dibantu Bibi Chatirene, dokter pribadi ibuku. Aku
sendiri, bahkan tidak mampu melihat semua itu, berlanjut. Hingga aku tertidur
di pangkuan Ayah, di sofa, ruang utama dalam rumahku itu.
*****
Mendengar jeritan ibu, aku
terbangun. Lalu kutatap jam yang melingkar ditanganku. “Pukul 00.35 ...?”tuturku. Berjalan aku menuju kamar, tempat ibuku
berada. Keringatnya, terus bercucuran. Padahal, musim salju belum berakhir di
kota California ini. Ingin sekali aku melanjutkan langkah hingga aku berdiri
disampingnya. Tapi ada banyak orang disampingnya. Sehingga aku tidak memiliki ruang sedikitpun.
Meskipun begitu, aku merasa sudah cukup melihat wajahnya, yang penuh beban dan
rasa sakit itu.
Berjam-jam keluargaku dilanda rasa
takut. Berjam-jam aku mendengar teriakan sakit dari ibuku. Dan berjam-jam air
mata bercucuran dari mataku, secara otomatis. Hingga pada pukul 04.45, tanggal
01 January 1997, terdengar suara... “Huahhh...huahhhh...”yang
tak lain adalah suara hadiah untukku di tahun ini. Suara sepotong cinta yang
telah lama kunanti. Yang tak lain adalah suara adikku.
Senyum mulai terpancar dari wajah
keluargaku, satu persatu. Bagaikan sebuah pertandingan, mereka berusaha untuk
memasuki kamar, dimana ibuku berada. Air mata yang awalnya terus membasahi
pipiku, sekarang berubah menjadi sebuah senyuman dari bibirku. Senyuman
kebahagiaan. Apalagi setelah mendengar perkataan Dok. Chatirene... “Ny. selamat dan hanya perlu beristirahat.
Dan anaknya berjenis kelamin perempuan.”
Mungkin karna semuanya lelah, satu
persatu keluargaku mulai tertidur. kecuali ayah yang terus menerus duduk mendampingi
ibuku yang sekarang tertidur lelah. “Ibu
pantas mendapatkannya, sekarang.”kataku pada ayah seraya menuju ke
keranjang bayi, yang berada tak jauh dari kasur ibu. “Ayah... ! Apakah dia adikku? Dia sangat cantik, dan begitu manis.”tuturku,
seraya memperlihatkan rasa senangku melihat hadiah tahun baru yang begitu
indah. “Bolehkah aku menggendongnya?
Sekarang dia tersenyum kepadaku, Yah. Bagaikan memintaku menggendongnya.”lanjutku,
berharap ayah mengijinkanku. “Kau ingin
menggendongnya kemana?”tanya ayah. “Hanya
sampai jendela itu. Aku ingin memperlihatkan padanya, betapa indahnya Sun-rise itu.”jawabku. “Baiklah...! Tapi jika kau melukainya, jangan harap ayah akan
membiarkanmu merayakan ultah ke 10 mu, tahun ini. Mengerti?”balas Ayah. “Iyah, Yah. Tidak mungkin aku melukai
hadiahku.”jawabku yakin.
Detik-detik berlalu, saat aku
dengan adikku melihat Sun-rise. Sun-rise yang pertama untuknya. Agar
tidak melukainya, berusaha aku menahan gugup yang mulai menguncang tanganku. “Yah...! Boleh aku yang memberinya nama?”
teriakku dengan pelan, berharap adikku tidak takut. “Siapa?”tanya ayah. “Sunny.”jawabku.
“Nama yang bagus.”balas ayah. “Baiklah. Namanya Sunny.”lanjut ayah.
Sunny... Selamanya, kau akan menjadi satu-satunya cinta untukku.
Selamanya, kau akan menjadi matahari dalam hidupku. Dan selamanya kau akan
terus menyinari tiap detik hidupku, ayah dan ibu. Karna kau lebih indah
dibandingkan cahaya yang berada diufuk timur itu. Jauh lebih indah. By Steven, Your Brother and Your Love.
(10.54/06/01/2013/tulipungu)
(10.54/06/01/2013/tulipungu)
No comments:
Post a Comment